Berhenti Menjadi Pengemis
Selama ini, saya selalu menyediakan
beberapa uang receh untuk berjaga-jaga kalau melewati pengemis atau ada
pengemis yang menghampiri. Satu lewat, ku beri, kemudian lewat satu pengemis lagi,
kuberi. Hingga persediaan receh di kantong habis baru lah aku berhenti
dan menggantinya dengan kata "maaf" kepada pengemis yang ke sekian. Tidak
setiap hari saya melakukan itu, karena memang pertemuan dengan pengemis juga
tidak setiap hari. Jumlahnya pun tidak besar, hanya seribu rupiah atau bahkan
lima ratus rupiah, tergantung persediaan.
Sahabat saya, Diding, punya cara
lain. Awalnya saya merasa bahwa dia pelit karena saya tidak pernah melihatnya
memberikan receh kepada pengemis. Padahal kalau kutaksir, gajinya lebih
besar dari gajiku. Bahkan mungkin gajiku itu besarnya hanya setengah dari
gajinya. Tapi setelah apa yang saya lihat sewaktu kami sama-sama berteduh
kehujanan di Pasar Minggu, anggapan saya itu ternyata salah. Seorang ibu setengah baya sambil menggendong
anaknya menghampiri kami seraya menengadahkan tangan. Tangan saya yang sudah
berancang-ancang mengeluarkan receh ditahannya. Kemudian Diding
mengeluarkan dua lembar uang dari sakunya, satu lembar seribu rupiah, satu
lembar lagi seratus ribu rupiah. Sementara si ibu tadi ternganga entah apa yang
ada di pikirannya sambil memperhatikan dua lembar uang itu.
"Ibu
kalau saya kasih pilihan mau pilih yang mana, yang seribu rupiah atau yang
seratus ribu?" tanya Diding Sudah
barang tentu, siapa pun orangnya pasti akan memilih yang lebih besar. Termasuk
ibu tadi yang serta merta menunjuk uang seratus ribu. "Kalau ibu pilih yang seribu rupiah, tidak harus dikembalikan. Tapi
kalau ibu pilih yang seratus ribu, saya tidak memberikannya secara cuma-cuma.
Ibu harus mengembalikannya dalam waktu yang kita tentukan, bagaimana?"
terang Diding.
Agak
lama waktu yang dibutuhkan ibu itu untuk menjawabnya. Terlihat ia masih nampak
bingung dengan maksud sahabat saya itu. Dan, "Maksudnya... yang seratus
ribu itu hanya pinjaman?"
"Betul
bu, itu hanya pinjaman. Maksud saya begini, kalau saya berikan seribu rupiah
ini untuk ibu, paling lama satu jam mungkin sudah habis. Tapi saya akan
meminjamkan uang seratus ribu ini untuk ibu agar esok hari dan seterusnya ibu
tak perlu meminta-minta lagi," katanya. Selanjutnya Diding menjelaskan
bahwa ia lebih baik memberikan pinjaman uang untuk modal bagi seseorang agar
terlepas dari kebiasaannya meminta-minta. Seperti ibu itu, yang ternyata
memiliki kemampuan membuat gado-gado. Di rumahnya ia masih memiliki beberapa
perangkat untuk berjualan gado-gado, seperti cobek, piring, gelas, meja
dan lain-lain. Setelah mencapai
kesepakatan, akhirnya kami bersama-sama ke rumah ibu tadi yang tidak terlalu
jauh dari tempat kami berteduh. Hujan sudah reda, dan kami mendapati lingkungan
rumahnya yang lumayan ramai. Cocok untuk berdagang gado-gado, pikirku.
***
Diding
sering menyempatkan diri untuk mengunjungi penjual gado-gado itu. Selain untuk
mengisi perutnya -dengan tetap membayar- ia juga berkesempatan untuk memberikan
masukan bagi kelancaran usaha ibu penjual gado-gado itu. Belum tiga bulan dari waktu yang disepakati
untuk mengembalikan uang pinjaman itu, dua hari lalu saat Diding kembali
mengunjungi penjual gado-gado. Dengan air mata yang tak bisa lagi tertahan, ibu
penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjaman itu ke Diding. "Terima
kasih, Nak. Kamu telah mengangkat ibu menjadi orang yang lebih terhormat."
Diding
mengaku selalu menitikkan air mata jika mendapati orang yang dibantunya sukses.
Meski tak jarang ia harus kehilangan uang itu karena orang yang dibantunya
gagal atau tak bertanggung jawab. Menurutnya, itu sudah resiko. Tapi
setidaknya, setelah ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjamannya
berarti akan ada satu orang lagi yang bisa ia bantu. Dan akan ada satu lagi
yang berhenti meminta-minta.
Ding,
inginnya saya menirumu. Semoga bisa ya.
Hasbullah,S.Pd.,M.Pd