Oleh:
Hasbullah
A.
Pendahuluan
Negara Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan atas kekuasaan semata (machtstaat). Hal ini dapat ditinjau pada
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa
“negara Indonesia adalah negara hukum”. Ketentuan aturan tersebut berimplikasi
pada praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang harus
menjunjung tinggi cita-cita hukum, nilai-nilai hukum, prinsip-prinsip hukum
dalam rangka mewujudkan kesadaran hukum warga negara.
Jika ditinjau dari aspek hukum, kesadaran hukum telah
didukung oleh beberapa peraturan perundangan yang berlaku seperti (a) TAP MPR
RI No.XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme yang mengamanatkan
bahwa, ‘penyelenggara negara pada lembaga eksekutif, legisltaif dan
yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik serta
bertanggungjawab kepada masyarakat, bangsa dan negara melalui sikap ‘jujur’,
‘adil’, ‘terbuka’ dan ‘terpercaya’ serta ‘mampu membebaskan diri praktek
korupsi, kolusi dan nepotisme’. (b) TAP MPR RI No.VI/MPR/2001 Tentang Etika
Kehidupan Berbangsa yang secara tegas mengamanatkan bahwa pokok-pokok etika
dalam kehidupan berbangsa harus mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan,
sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu,
tanggung jawab serta menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga
negara dan (c) Permendikbud No.23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti
yang melibatkan pemerintah, guru, masyarakat dan orang tua melalui 18 nilai
pendidikan karakter diantaranya religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja
keras, mandiri, demokratis, cinta tanah air, peduli, tanggungjawab dan
sebagainya.
Namun, praktik kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia masih belum sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh ketentuan
peraturan perundangan tersebut. Hal ini dapat dilihat fenomena-fenomena sosial
yang muncul antara lain:
1.
Penyalahgunaan
wewenang oleh pejabat penyelenggara negara seperti korupsi, kolusi dan
nepotisme. Menurut Indonesia
Corruption Watch (ICW) (2016) mengungkapkan bahwa total
kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi sepanjang 2015 mencapai
Rp 31,077 triliun dengan sebagian besar modus yang digunakan adalah
penyalahgunaan anggaran, penggelapan anggaran (mark up). Selain itu, Transparansi International (2015)
juga mengungkapkan bahwa index
korupsi negara Indonesia berada pada
peringkat 88 di dunia.
2.
Lemahnya penegakan hukum, korupsi yang
semakin merebak dengan wajah baru, kolusi dan nepotisme dengan wajah demokrasi,
etika politik yang sangat mengecewakan
rakyat (Kaelan, 2011)
3.
Potret dekandensi moral generasi penerus
bangsa seperti tawuran/ perkelahian,
penggunaan obat-obatan terlarang, pembunuhan, pemukulan terhadap guru,
munculnya fenomena peer-group atau
geng motor, pencurian maupun pergaulan bebas dikalangan remaja.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993), kesadaran
hukum didefinisikan sebagai: (1) insaf; merasa tahu dan mengerti tentang nilai-nilai
hukum dan (2) sadar untuk menegakkan hukum didalam kehidupan bermasyarakat. Lebih
lanjut Wignjosoebroto (2002) mengemukakan bahwa, kesadaran hukum adalah kesediaan warga masyarakat untuk berperilaku sesuai
dengan keharusan yang ditetapkan oleh hukum. Kesadaran hukum akan memotivasi warga masyarakat untuk
secara suka rela menyesuaikan segala perilakunya kepada ketentuan hukum perundang-undangan
negara yang berlaku. Singkatnya,
unsur-unsur kesadaran hukum mencakup: (1) pengetahuan hukum (2) pengakuan hukum;
(3) sikap hukum dan (4) perilaku hukum (Soerjono Soekanto, 1987; B. Kutschincky,
1973; dan Wignjosoebroto, 2002).
Dalam rangka mewujudkan kesadaran hukum warga negara
diperlukan upaya secara terencana, sistematis dan programatik. Salah satu upaya
yang dapat dilakukan ialah melalui pendidikan kewarganegaraan yang dimaksudkan
untuk mengembangkan "civic
competencies" meliputi "civic
knowledge, civic dispositions, civic skills" yang berorientasi pada
kemampuan integratif "well-informed
and reasoned decision making". Secara instrumental dan praksis,
dimensi kemampuan tersebut diperlukan oleh individu agar dapat berperan sebagai
"participative and responsible
citizen" (CCE:1996) atau warga negara Indonesia yang cerdas dan baik (to be good and smart citizen)
(Sapriya&Wahab, 2011; dan Winataputra:2001, 2015).
Lebih lanjut, Cogan (1996) dan Winataputra
(2001) mengemukakan bahwa pendidikan kewarganegaraan mengemban misi
multidimensional meliputi (1) misi psikopedagogis
yakni pengembangan potensi peserta didik; (2) misi psikososial yakni penyiapan peserta didik untuk hidup dan
berkehidupan dalam masyarakat negara bangsa; dan (3) misi sosiokultural untuk membangun budaya kewarganegaraan sebagai salah
satu determinan kehidupan yang demokratis.
Ketiga misi tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi Marusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Singkatnya, pendidikan
kewarganegaraan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun
karakter bangsa (nation and character
building) yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka
Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karena itu,
pembelajaran pendidikan kewarganegaraan perlu menggali nilai-nilai kearifan
lokal guna merespon permasalahan yang muncul di lingkungan masyarakat. Dalam
konteks tersebut, nilai-nilai kearifan lokal yang dikaji adalah “Budaya Siri’ Adat Bugis-Makassar”.
B.
Hakikat Integritas dalam Kehidupan
Kata integritas dalam bahasa Latin adalah
"integrate", artinya komplit, utuh dan sempurna (tidak ada
cacat). Integritas adalah tanpa kedok,
bertindak sesuai dengan yang diucapkan, konsisten antara iman dan perbuatan,
antara sikap dan tindakan. Dalam
konteks ini, integritas adalah rasa batin “keutuhan” yang berasal dari kualitas
seperti kejujuran dan konsistensi karakter. Dengan demikian, seseorang
dapat menghakimi bahwa orang lain “memiliki integritas” sejauh bahwa mereka
bertindak sesuai dengan, nilai dan prinsip keyakinan mereka mengklaim memegang[1][7]. Sedangkan menurut
kamus besar bahasa Indonesia, integritas adalah mutu,
sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi
dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran.
Selanjutnya setelah membahas
mengenai hakikat integritas diatas maka
dalam makalah ini akan mencoba memaparkan integritas dalam dua prespektif yaitu
integritas diri sendiri dan integritas
dalam kepemimpinan
1. Integritas Diri
2. Integritas adalah sebuah keunggulan
diri pribadi yang menjadikan
seseorang hidup lebih sehat dan tanpa
beban, karena mereka menjalankan hidupnya jauh dari aneka kepura - puraan dan kepalsuan. Dimana
pun dia berada, dan kondisi apa pun yang
menekannya, ia tetap hidup konsisten dengan nilai- nilai yang dianutnya.
Orang yang memiliki integritas diri
mampu memberi pengaruh besar dan positi f dalam kehidupan, bahkan untuk generasi penerus mereka, melalui keteladanan dan apa
saja yang mereka selalu perjuangkan
C.
Integritas
Sebagai Spirit dalam Mewujudkan Supremasi Hukum
Integritas merupakan salah satu atribut terpenting atau kunci yang
harus dimiliki seorang pemimpin. Integritas adalah suatu konsep berkaitan
dengan konsistensi dalam tindakan-tindakan, nilai-nilai, metode-metode,
ukuran-ukuran, prinsip-prinsip, ekspektasi-ekspektasi dan berbagai hal yang
dihasilkan. Orang berintegritas berarti memiliki pribadi yang jujur dan
memiliki karakter kuat. Orang-orang yang memiliki integritas
mengatakan kebenaran, dan orang-orang itu memegang kata-kata mereka.
Mereka bertanggung-jawab atas tindakan-tindakan mereka di masa lalu,
mengakui kesalahan mereka dan mengoreksinya. Mereka mengetahui hukum yang
berlaku dalam negara mereka, industri mereka dan perusahaan mereka – baik
yang tersurat maupun yang tersirat – dan mentaatinya. Mereka bermain
untuk menang secara benar (bersih), seturut peraturan yang berlaku.
”Berbagai survei dan studi kasus telah mengidentifikasikan integritas
atau kejujuran sebagai suatu karakteristik pribadi yang paling dihasrati
dalam diri seorang pemimpin.
Dari uraian tersebut diatas semakin memperjelas bahwa yang
dimaksud dengan integritas adalah konsistensi atau keteguhan yang tidak dapat
tergoyahkan dalam menjungjung nilai-nilai keyakinan dan prinsip. Atau
Integritas merupakan konsep yang menunjukan konsistensi atau keteguhan tindakan
dengan nilai-nilai dan prinsip. Jika pada etika integritas dapat diartikan
sebagai kebenaran dan kejujuran tindakan yang dilakukan seseorang. Di dalam
dunia kerja Integritas dapat diartikan sebagai konsisten dalam bertindak sesuai
dengan kode etik dan kebijakan tempat bekerja. Mempunyai pemahaman dan
keinginan untuk menyesuaikan diri dengan etika dan kebijakan tempat bekerja
serta dapat bertindak secara konsisten untuk melaksanakannya. Intergritas
menjadi salah satu elemen pada karakter yang mendasari timbulnya spengakuan
sikap profesional. Dapat menjadi kualitas yang melandasi timbulnya kepercayaan
orang lain dan menjadi patokan bagi anggota-anggota lain dalam menguji
pegambilan suatu keputusan dalam pekerjaan. Integritas mewajibkan seseorang
dalam menjalankan profesinya untuk slalu bersikap jujur, terus terang dan
konsisten. Misalnya seorang pemimpin harus mengutamakan pelayanan kepada
masyarakat sehingga masyarakat jadi percaya, jadi tidak boleh mengutamakan
keuntungan pribadi.
Rasa malu
adalah sebuah spirit dalam membentuk sebuah integritas oleh individu baik
sebagai pejabat publik maupun sebagai individu dalam masyarakat. Dengan
tertanamnya budaya malu kepada setiap individu maka sangat memungkinkan untuk
terbentuknya sebuah integritas kepada
setiap individu- individu. Dengan demikian
Integritas dibutuhkan oleh siapa saja, tidak hanya pemimpin namun juga
yang dipimpin. Orang-orang menginginkan jaminan bahwa pemimpin mereka dapat
dipercaya jika mereka harus menjadi pengikut-pengikutnya. Mereka merasa yakin
bahwa sang pemimpin memperhatikan kepentingan setiap anggota tim dan sang
pemimpin harus menaruh kepercayaan bahwa para anggota timnya melakukan tugas
tanggung-jawab mereka. Pemimpin dan yang dipimpin sama-sama ingin mengetahui
bahwa mereka akan menepati janji-janjinya dan tidak pernah luntur dalam
komitmennya. Orang yang hidup dengan integritas tidak akan mau dan mampu untuk
mematahkan kepercayaan dari mereka yang menaruh kepercayaan kepada dirinya.
Mereka senantiasa memilih yang benar dan berpihak kepada kebenaran. Ini adalah
tanda dari integritas seseorang. Mengatakan kebenaran secara bertanggung jawab,
bahkan ketika merasa tidak enak mengatakannya.
Selanjutnya
persoalan mengenai supremasi hukum dan
sebuah integritas, Perbincangan
mengenai hukum dan penegakan hukum di Indonesia adalah sama dengan
mempertautkan ke dua sisi normatif dan sisi empirik yang merupakan pasangan
replektif (membias) mulai dari proses pembuatan hukum, perwujudan serta
pelaksanaan fungsi hukum (penegakan hukum dan keadilan), dalam rangka merespon
kebutuhan masyarakat yang sedang membangun di segala bidang, dalam mencapai
tujuan hukum yakni mewujudkan keadilan, menciptakan kepastian hukum dan
memberikan kegunaan (kemanfaatan) bagi masyarakat.
Sorotan terhadap hukum dan penegakan
hukum bukanlah merupakan sosok yang baru di tanah air kita, dia begitu penting
untuk dibicarakan karena hal ini tidak saja merupakan tugas dan amanah
konstitusi (UUD 1945), tetapi lebih jauh di sisi lain ia juga merupakan tonggak
sekaligus benteng untuk tegaknya hukum dan keadilan. Hal ini berhubungan dengan
kelangsungan masa depan pencari keadilan di Indonesia
Sebagai negara hukum sebenarnya
prinsip-prinsip supremasi hukum harus sudah terlaksana semenjak UUD NRI Tahun
1945 dideklarasikan. Supremasi hukum mengandung makna bahwa (1) government
is under the law; (2) keberadaan kekuasaan kehakiman yang merdeka;
(3) ”access to justice” bagi mereka yang menjadi korban pelanggaran
hukum baik oleh anggota masyarakat yang lain maupun oleh kekuasaan harus
terbuka luas; (4) hukum harus ditegakkan secara umum non diskriminatif, adil
dan pasti; prinsip-prinsip supremasi hukum menjadi sangat menonjol di era
reformasi atau demoratisasi saat ini, karena supremasi hukum merupakan
salah satu ”core values of
democracy”. Di satu pihak, supremasi hukum menjaga untuk
tidak terjadinya praktek-praktek ”abuse of power” kekuasaan, dan di
lain pihak supremasi hukum menjaga agar masyarakat dalam menjalankan hak-haknya
tidak terjerumus dalam anarchisme. Demokrasi, supremasi hukum dan
promosi serta perlindungan HAM merupakan prinsip-prinsip untuk menjalankan roda
pemerintahan secara beradab.
Maka
dengan demikian sejatinya sudah hampir tujuh puluh dua tahun telah
memulai yang namanya sebuah
reformasi, keinginan untuk memperoleh good governance and clean
government namun masih jauh
daripada harapan. Berbagai kendala menampakkan diri dalam bentuk gejolak
politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, pemerintahan, yang simpang siur dan
menimbulkan ketidakpastian yang bermuara pada keresahan dan letupan-letupan
yang membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Sebuah reformasi yang
diharapakan seakan hanya menjadi sebuah eutopia dan fatamorgana, pejuang-
pejuang hukum silih berganti untuk
membuktikan diri sebagai jargon pejuang keadilan namun tidak sedikit yang
justru berlabuh dibalik tirai besi. Pejuang keadilan yang benar- benar sejati
justru mereka tereliminasi dan terlempar oleh sebuah kriminalisasi dan kuatnya
hegemoni kekuasaan.
Hal
ini semakin mempertegas bahwa negeri tercinta yang kita kenal dengan zamrut khatulistiwa ini sedang sakit dan krisis akan sebuah
integritas terhadap meraka yang memegang sebuah kekuasaan. Hukum diperjual
belikan oleh mereka yang memilki kepentingan. Para pejuang hukum pun banyak
yang tersandera oleh nikmatnya tawaran- tawaran materi yang ditopang oleh
kuatnya kehidupan matrealistik dan hedonistik. Pertanyaan yang harus menjadi
perhatian adalah bahwa sudah menjadi sebuah rahasia umum apakah orang yang hidup lurus, mesti kurus di
zaman ini? Atau Mungkin sebahagian berfikir secara sadar
bahwa integritasnya terhadap penegakan hukum telah saat ini menciptakan banyak
musuh.
Bangsa ini sedang mengalami krisis
moral dan karakter akut. Penangkapan terhadap penegak hukum yang terkena OTT
bukan kali ini saja. Ini membuktikan moral dan karakter penegak hukum kita
masih lemah. Hukum di Indonesia akan semakin tumpul ke atas dan runcing ke
bawah. Revolusi mental juga perlu ditujukan kepada para birokrat dan penegak
hukum. Integritas penegak hukum di Indonesia perlu dipertanyakan. Hakim sebagai salah satu aparat
penegak hukum memiliki kode etik. Sebagai standar moral kode etik hakim
tentu wajib dijalankan. Kejadian ini menunjukkan oknum hakim belum melaksanakan
kode etik profesinya. Kode etik profesi hakim bukanlah sesuatu yang datang dari
luar. Itu mestinya terwujud dari penghayatan terhadap hukum itu sendiri. Kode
etik harus dijunjung tinggi dengan penjiwaan atas Pancasila.
Hakim sebagai salah satu penegak
hukum memiliki kedudukan istimewa. Di tangannya keputusan kebenaran dan
keadilan itu ditentukan. Setiap keputusannya berorientasi kepada penegakkan
nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Hakim mestinya tidak mudah tergoda dengan
apapun. Saat menjalankan tanggungjawabnya, hakim harus objektif. Dengan begitu,
hakim harus berdiri di atas kedua belah pihak yang memiliki perkara. Ini
sebagai salah satu kode etik utama yang mesti dipegang oleh setiap hakim.
Meskipun
demikian kondisinya tetap dibutuhkan
sebuah kebernian dan komitmen oleh semua elemen bangsa dan stekholder dalam
penegakan hukum untuk mengembalikan hakikat hukum yang sebenarnya yaitu tetang
lahirnya sebuah keadilan dari mereka yang senangtiasa mencari dan membutuhkan
sebuah keadilan. Hal tersebut menjadi sebuah tuntutan untuk segera dilaksanakan sebagai titah nurani untuk
mewujdkan Indonesia yang lebih baik, namun apabila kondisi ini terus dibiarkan
dengan tetap memberi ruang kepada para penjahat berdasi yaitu para koruptor
maka impian negeri yang maju berdikari
dan mandiri hanya akan menjadi sebuah semboyan dan slogan yang tidak berarti.
Rakyat hanya akan selalu disuguhkan dengan impian dan harapan yang tidak
kunjung terealisasi.
Konon,
di Tiongkok kuno orang menginginkan rasa damai dari kelompok Barbar utara, itu
sebabnya mereka membangun tembok besar. Tembok itu begitu tinggi sehingga
mereka sangat yakin tidak seorang pun yang bisa memanjatnya dan sangat tebal
sehingga tidak mungkin hancur walau pun didobrak. Sejak tembok itu dibangun
dalam seratus tahun pertama, setidaknya Tiongkok telah diserang tiga kali oleh
musuh-musuhnya, namun tidak ada satu pun yang berhasil masuk karena temboknya
yang tinggi, tebal dan kuat. Suatu ketika, musuh menyuap penjaga pintu gerbang
perbatasan itu. Apa yang terjadi kemudian? Musuh berhasil masuk. Orang Tiongkok berhasil membangun tembok batu
yang kuat dan dapat diandalkan, tetapi gagal membangun integritas pada generasi
berikutnya. Seandainya, penjaga pintu gerbang tembok itu memiliki integritas
yang tinggi, ia tidak akan menerima uang suap itu yang tidak hanya
menghancurkan dirinya tapi juga orang lain.
Betapa
sering kita meremehkan dan memandang sebelah mata terhadap arti penting sebuah
integritas. Padahal, walaupun ada pengorbanan dan harga yang harus dibayar demi
sebuah integritas, akan lebih banyak risiko dan akibat fatal yang terjadi jika
harus mengorbankan integritas. Bila kita tidak memperhatikan sikap dan
tindakan, kenikmatan sesaat seringkali berujung pada akibat buruk yang
berkepanjangan. Sepenggal cerita diatas menjadi sebuah deskripsi tentang
pentinya sebuah integritas. Oleh karena itu supremasi hukum baru dapat diimplementasikan manakala sebuah
integritas telah tertanam dalam nurani
oleh mereka yang punya jiwa- jiwa idealisme
yang mengatasnamakan pejuang keadilan. Tuntutan ini
bukan lagi sebuah tawaran namun sudah menjadi keharusan dan kewajiban
bagi setiap penegak hukum dinegeri ini untuk melaksanakanya.
Sepenggal ilustrasi tentang makna integritas
diatas maka berujung pada kesimpulan saya bahwa kriteria integritas sebagai persyaratan pertama
dalam memilih pimpinan, baru berikutnya menyusul syarat kapabilitas intelektual
dan manajerial. Semakin banyak tipe manusia dengan integritas yang tinggi akan
menentukan maju mundurnya suatu lembaga dan lebih luas lagi akan menentukan
masa depan suatu negara. Jika demikian halnya, saya jadi bertanya-tanya kalau
Indonesia sampai saat ini masih berkutat dalam upaya melepaskan diri dari
jerat korupsi yang sedemikian sistemik, apakah ini ada kaitan nya dengan integritas para pemegang jabatan
negara ya? Di antara begitu banyaknya pemimpin negara di kelembagaan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif, siapa-siapa saja yang menunjukkan seorang
pemimpin yang berkarakter dan berintegritas tinggi sehingga mampu
menumbuhkankan trust di hati banyak warga bangsa Indonesia? Kalau
mencari pemimpin yang berpendidikan tinggi , yang ahli atau pakar di bidangnya
tentunya kita tidak akan kesulitan menemukannya. Indonesia berlimpah dengan
sarjana. Magister, doctor, dan professor setiap tahun juga semakin bertambah
jumlahnya. Namun, siapa pemimpin yang betul-betul berintegritas tentunya
tidaklah sebanyak jumlah para pakar.
Sungguh celaka kalau ternyata
pemimpin yang berintegritas itu sulit ditemukan, dan sebaliknya yang banyak
justru tipe sebaliknya yakni tipe hipocricy . Jika begitu maka Indonesia
sungguh-sungguh dalam ancaman bahaya. Bahaya yang mengancam ini bukan
main-main. Karena pemimpin yang tidak jujur, lebih mengutamakan kepentingan
pribadi , kelompok dan golongan akan cenderung menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan. Lembaga atau Negara yang mengalami krisis
integritas akan mengalami kemerosotan akibat proses pembusukan dari dalam
unsur-unsur organisasi atau negara itu sendiri.
D.
Konsep
Siri’ Bugis-Makassar
Istilah kata siri’ dalam bahasa Bugis-Makassar berarti “rasa malu” yang
mengandung makna malu apabila melakukan perbuatan yang tercela (siri’ lanri anggaukanna anu kodi).
Apabila diterjemahkan dalam bahasa Inggris,
kata siri’ mengandung makna “shame”
(malu), “self-respect”,
“self-esteem”,dan “self-worth”
(harga diri).) Secara sederhana, nilai
malu dan nilai martabat (harga diri) menyatu dan larut dalam sistem nilai
budaya siri’ (Marzuki, 1995 dan Matulladaa
1988)
Siri’ pernah pula
dibicarakan dan dikaji pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Komando
Daerah Kepolisian (KOMDAK) XVIII 190 Implikasi Falsafah Siri’ Na Pacce Pada Masyarakat Suku Makassar bekerjasama dengan
Universitas Hasanuddin pada tanggal 11 Juli 1977 sampai dengan tanggal 13 Juli
1977 dengan tema “Mengolah Masalah Siri’
di Sulawesi Selatan Guna Peningkatan Ketahanan Nasional dalam Menunjang
Pembangunan Nasional.” Adapun hasil seminar tersebut memberikan konsep dan
batasan tentang siri’ antara lain:
1. Siri’ dalam sistem budaya adalah pranata pertahanan harga
diri, kesusilaan dan hukum serta agama sebagai salah satu nilai utamanya yang
mempengaruhi dan mewarnai alam pikiran, perasaan dan kemauan manusia. Sebagai
konsep budaya, ia berkedudukan regulator dalam mendinamisasi fungsi-fungsi
struktrur dalam kebudayaan.
2. Siri’ dalam sistem sosial, adalah mendinamisasi
keseimbangan eksistensi hubungan individu dan masyarakat untuk menjaga
kesinambungan kekerabatan sebagai dinamika sosial terbuka untuk beraluh peranan
(bertransmisi), beralih bentuk (bertranformasi), dan ditafsir ulang
(re-interpretasi) sesuai dengan perkembangan kebudayaan nasional, sehingga siri’ dapat ikut memperkokoh tegaknya Pancasila.
3. Siri’ dalam sistem
kepribadian, adalah sebagai perwujudan konkrit didalam akal budi manusia yang
menjunjung tinggi kejujuran, keseimbangan, keserasian, keimanan dan kesungguhan
untuk menjaga harkat dan martabat manusia (Moein, 1990: 42).
Pemikiran tersebut, memberikan sumbangan pemikiran
kepada masyarakat secara umum tentang makna dan tujuan siri’ yang patut untuk
diyakini, dilaksanakan dan dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari. Siri’
dipandang sebagai suatu sistem nilai sosial, budaya dan kepribadian yang
merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu
dan anggota masyarakat.
Konsepsi
siri’ telah sejak dahulu
dikenal serta dihayati di kalangan masyarakat Bugis-Makassar. Hal tersebut
termuat dalam ungkapan kalimat bijak yang dikemukakan oleh para leluhur mereka
melalui petuah-petuah lisan (pappaseng,
pappasang) sebagai berikut:
1. Siri’taji nakitau
artinya hanya siri’lah, maka kita
dinamakan manusia. Maksudnya seseorang yang tidak mempunyai siri’, maka ia tidak ada artinya sebagai
manusia (layak disebut binatang), karena sikap orang yang tidak mempunyai siri’ seperti perbuatan binatang (tidak
punya malu).
2. Siri’kaji tojeng, siri’taji tojeng
artinya hanya siri’lah yang benar.
Maksudnya perasaan siri’ atau malu karena melakukan perbuatan yang tercela, hal
tersebut dianggap benar oleh hukum manapun (agama, adat dan negara).
3. Punna taenamo siri’ku, manna kupannobokangki,
taenamo nalantang lantang, artinya manakala tidak ada lagi siri’ ku, maka sekalipun aku menikamkan
kerisku kepada tuan, tidaklah menjadi dalam lagi. Maksudnya apabila seseorang
sudah tidak memiliki perasaan malu, maka orang tersebut sudah tidak mempunyai
kehormatan dan kekuatan di hadapan orang lain. (Marzuki, 1995: 38).
Dari beberapa kajian literature, pembagian
siri’ dapat dikategorikan menjadi
beberapa bagian berdasarkan penyebab timbulnya antara lain:
1. Siri’
yang berasal dari luar pribadi manusia (siri’
ri-pakasiri’), maksudnya dipermalukan oleh orang lain.
2. Siri’
yang berasal dari pribadi orang itu sendiri (penyebab di dalam) disebut siri’ masiri’, maksudnya malu yang
berasal dari dirinya/keluarganya (Moein, 1990: 33).
3. Siri’
dapat dikategorikan dalam empat (jenis) golongan, yaitu (a) siri’
yang dalam hal pelanggaran kesusilaan; (b) siri’ yang berakibat kriminal, (c) siri’ yang dapat meningkatkan motivasi untuk bekerja, dan (d) siri’ yang berarti malu-malu (Limpo,
1995: 87).
Lebih lanjut, menurut Anwar Ibrahim
(1983) bahwa ada lima prinsip yang terkandung dalam budaya siri´ antara lain:
1. Ada tongeng (kata-kata yang benar),
maksudnya agar manusia berpegang teguh pada ada
tongeng, melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang diucapkan;
2. Lempu’ (lurus, jujur) maksudnya dapat dipercaya.
3. Getteng (teguh pada keyakinan yang benar), maksudnya manakala
suatu kebenaran telah dianut maka manusia harus berpegang teguh pada
keyakinannya dan tidak akan goyah;
4. Sipakatau (saling memanusiakan),
maksudnya saling menghargai sesama manusia;
5. Mappesona ri dewata seuae (berserah diri kepada Tuhan
Yang Maha Esa).
E.
Implikasi
nilai-nilai budaya Siri’ dalam upaya
mewujudkan kesadaran hukum warga negara.
Nilai-nilai budaya siri’
mengandung nilai malu dan martabat (harga diri) manusia yang saling
berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Dalam konteks interaksi sosial, nilai siri’ melahirkan prinsip sipakatau yang bermakna saling memanusiakan dan sipakalebbi yang bermakna saling
menghormati. Secara implisit konsep budaya siri’
memiliki nilai kebijaksanaan yakni kemampuan
untuk mengambil keputusan yang bersifat rasional dan logis serta dapat
dipertanggungjawabkan. Selain itu, nilai budaya siri’
juga mengandung nilai-nilai integritas yang
meliputi, (a) kelekatan terhadap prinsip moral, (b) keyakinan terhadap hati
nurani, (c) kemampuan mengingat perkataan, (d) konsistensi etika, (e) sikap
jujur baik terhadap diri sendiri maupun orang lain (Lickona, 2012), (f)
keberanian dan keyakinan diri, (g) kerja keras dan (h) berdoa dan bersyukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam kaitannya dengan kesadaran hukum warga negara,
nilai-nilai siri’ dapat berperan
sebagai penggugah (motivator) bagi
warga negara guna mematuhi hukum. Nilai budaya siri’ (rasa malu) harus dimiliki
dan dipertahankan oleh seseorang karena akan membuahkan kebaikan, baik pada
dirinya maupun pada orang di sekitarnya, dan apabila seseorang memiliki
perasaan tersebut, maka dia akan berhati-hati dalam berbicara dan bertingkah
laku. Rasulullah SAW, bersabda: “jika engkau tidak malu, berbuatlah apa yang
engkau kehendak”. (HR Bukhori). Maksudnya apabila seseorang sudah tidak memiliki
rasa malu lagi, maka dia tidak akan segan-segan melakukan segala pelanggaran
moral dan perbuatan dosa. Hadits tersebut merupakan kata sindiran kepada
seseorang yang apabila melakukan perbuatan yang dia kehendaki dengan menuruti
hawa nafsunya, yaitu perbuatan yang dilarang oleh agama atau perbuatan tercela
lainnya maka orang tersebut tidak mempunyai perasaan malu dan termasuk golongan
orang yang lemah imannya, sehingga perasaan malu termasuk sebagian dari iman
(Bahreisy, 1986: 545). Dengan kata lain, nilai malu menjadikan seseorang tidak
mau melakukan hal-hal tercela dan terlarang, baik menurut hukum, agama maupun
sosial-budaya sedangkan nilai martabat (harga diri) menanamkan dignity dalam diri seseorang guna
mematuhi hukum.
Kesimpulan
Nilai-nilai yang terkandung dalam
budaya siri’ dapat mewujudkan
kesadaran warga negara secara terencana, tersistematis dan programatik melalui
pengadopsian (integrasi) nilai-nilai tersebut ke dalam pengembangan materi ajar
dan kegiatan proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
dipersekolahan.
DAFTAR PUSTAKA
Setandjo
Wignjosoebroto, 2002. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya,
Penerbit HUMA, hal. 379-384
Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hal. 765 Winataputra,
& Dasim Budimansyah (2012). “PKn dalam Persepktif Internasional: Konteks,
Teori, dan Profil Pembelajaran”. Bandung:Widya Aksara Press
Limpo,
Syahrul Yasin. 1995. Profil Sejarah, Budaya
dan Pariwisata Gowa. (Cet. I). Ujung Pandang: Intisari.
Marzuki, H. M. Laica. 1995. Siri’: Bagian Kesadaran
Hukum Rakyat Bugis-Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum). (Cet.I). Ujung
Pandang: Hasanuddin University Press.
Moein M.G., Andi. 1990. Menggali Nilai-Nilai Budaya
Bugis-Makassar dan Sirik na Pacce. Ujung Pandang: Mapress.
Sariya
dan Wahab.A.A (2011). Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan.
Bandung:Alfabeta
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan
Nasional
Winataputra,
(2001). “Jati Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Demokrasi”.
Bandung: Program Pascasarajana UPI (Disertasi)
__________,
(2014). Makalah diskusi dalam Seminar AP3KnI tentang “Diskursus Aktual Tentang
Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam Konteks Kurikulum 2013”.
Internet