Selasa, 30 Januari 2018

SISTEM MOTASU (PERLADANGAN) PADA SUKU MORONENE SULAWESI TENGGARA

A.    Pendahuluan
Bangsa Indonesia yang bersifat multi etnis, suku, ras, dan agama tentu saja juga kaya akan kekayaan alam yang melimpah, tetapi juga kaya akan kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya. Keanekaragaman kebudayaan dan adat istiadat yang dimiliki oleh setiap suku bangsa yang ada adalah merupakan khazanah dalam memperkaya kebudayaan nasional.
Selain itu juga Indonesia sebagai negara berkembang, berkepentingan dengan pembangunan dan mengolah Sumber Daya Alam (SDA) yang ada seperti tanah, air, dan hutan, baik yang terdapat di dasar lautan maupun yang ada di perut bumi, untuk dijadikan sebagai bahan baku untuk komoditas ekspor, industry atau langsung dikonsumsi, utamanya tanaman pangan yang berfungsi sebagai bahan sumber makanan pokok yakni tanaman padi khususnya padi ladang. Karena ketersediaan sumber daya alam di Indonesia sehingga mendorong masyarakatnya melakukan kegiatan/aktivitas.
Aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berawal sejak adanya manusia di muka bumi ini. Faktor yang mendorong dan usaha untuk memenuhi kebutuhannya adalah faktor alamiah, dorongan-dorongan ini terlihat dari aktivitas manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhannya, mempertahnkan, dan mengembangkan diri maupun kelompoknya. Pemenuhuan kebutuhan manusia tersebut berbentuk hasrat, kehendak, dan kemauan, baik dari manusia itu secara pribadi maupun dalam bentuk kelompok sosial.
Manusia merupakan pelaku yang mengolah alam sehingga dapat menjadi bermanfaat, akan tetapi ekologi lingkungan dimana manusia itu berada juga menjadi faktor yang sangat berperan di dalam usaha untuk memenuhi kebutuhannya. Alam lingkungan menjadi alternatif yang dapat digunakan sebagai tempat berusaha untuk memenuhi kebutuhannya.
Oleh karena itu pada zaman pembangunan dan kepesatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, nilai-niai lama seperti halnya proses pelaksanaan berladang berpindah-pindah yang dianggap penting dan menjadi acuan masyarakat terdahulu, kini tidak menghilang di dalam Suku Moronene di Desa Pomontoro.
Meskipun berbagai bentuk penemuan baru di bidang teknologi pertanian yang berguna dalam mempertahankan dan meningkatkan produksi pertanian tersebut, namun ternyata belum sepenuhnya dapat menggeser seluruh tata cara pertanian tradisional dari setiap suku bangsa yang ada di Indonesia termasuk pada suku Moronene khusunya yang berada di Desa Pomotoro. Hal ini dapat dimaklumi karena tata cara pertanian tradisional suatu suku bangsa telah diwariskan oleh leluhur melalui proses sosialisasi dari generasi ke generasi.
Pembangunan pertanian melalui kegiatan berladang itu sendiri, memiliki nilai-nilai yang cukup penting sehingga dalam proses pelaksanaannya masih banyak masyarakat yang melakukannya dengan cara berdasarkan tradisi, biasanya kita jumpai pada masyarakat Suku Moronene.
Kegiatan berladang berpindah-pindah pada suku Moronene disebut dengan kegiatan motasu, yaitu suatu kegiatan masyarakat yang mengelola hutan untuk keperluan menanam padi ladang dalam rangka memenuhi kebutuhan masa depan keluarga dari para petani, kegiatan yang dilakukan mulai dari membuka/membersihkan lahan untuk berladang, menabur benih, mencegah tanaman dari serangan hama, pemanenan, sampai pada hasill panen disimpan di lumbung/tempat penyimpanan tradisional.
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti masalah yang berkaitan dengan sistem motasu (berladang) yang dilakukan oleh masyarakat suku Moronene, dan sebagai salah satu upaya untuk melestarikan kebudayaan dari suku Moronene yang sudah mulai luput dari perhatian generasi muda sekarang ini.
B.     Latar Belakang Sistem Motasu
Kemampuan manusia untuk menggunakan akal pikirannya secara aktif dalam menanggapi berbagai tantangan dalam usaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya merupakan modal utama bagi pengembangan kemampuan manusia dalam mengembangkan peralatan dan tata cara penggunaannya sebagai penyambung keterbatasan jasmaninya.
Berladang berpindah-pindah merupakan cara bertani dengan memanfaatkan hutan, yang diolah untuk digunakan sebagai areal kegiatan berladang agar dapat memberikan hasil bagi petani. Berladang berpindah-pindah pada suku Moronene disebut dengan motasu, yaitu suatu kegiatan masyarakat yang mengelola hutan untuk keperluan menanam padi ladang dalam rangka memenuhi kebutuhan masa depan keluarga dari para petani, kegiatan yang dilakukan mulai dari membuka/membersihkan lahan untuk berladang, menabur benih, mencegah tanaman dari serangan hama, pemanenan, sampai pada hasill panen disimpan di lumbung/tempat penyimpanan tradisional.
Adapun faktor-faktor penyebab masyarakat Desa Pomontor melakukan kegiatan berladang berpindah-pindah adalah sebagai berikut:
1.      Faktor Budaya
Budaya sifatnya sudah turun-temurun melalui proses sosialisasi dari generasi-ke generasi, kegiatan berladang (motasu) dilakukan berdasarkan tradisi yang masyarakat yakini. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dalam kehidupan bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat gaib atau keagamaan.
Tradisi berlaku untuk semua aspek kegiatan termasuk kegiatan pertanian/berladang, dalam masyarakat suku Moronene yang cenderung hidup sebagai masyarakat agraris, tentunya akan menjadi tradisi atau kebiasaan-kebiasaan yang menjadi budaya dalam bercocok tanam seperti berladang.
2.      Keadaan Tanah
Desa Pomontoro memiliki tanah yang subur, tanahnya bertekstur liat, berdebu halus sampai kasar dengan pH 4,0 - 8,0 merupakan salah satu kriteria potensi untuk menanam padi ladang (Sumber: BPP Kecamatan Mataoleo).
3.      Keadaan Wilayah
Wilayah Desa Pomontoro yang berupa perbukitan sehngga kegiatan/aktifitas penduduknya bersifat agraris selain itu juga masih luasnya wilayah yang berupa hutan dan padang rumput sebagai tempat untuk menanam padi ladang. Mayoritas masyarakat Desa Pomontoro melakukan kegiatan berladang (motasu), varietas padi ladang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sampai ketinggian 1300 meter dari permukaan laut.
4.      Iklim
Faktor iklim juga dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan padi ladang. Fase untuk pertumbuhan padi ladang membutuhkan suhu optimum 15O  - 30O C, selain itu juga pertumbuhan padi ladang dipengaruhi oleh curah hujan yang berkisar 600-1200 mm/tahun, kelembaban tanah, temperatu, cahaya matahari dan angin (Deptan, 1983).
Bila menjelang masuknya musim kemarau, petani melakukan kegiatan mencari lahan yang subur untuk dijadikan lahan perladangan, bagi masyarakat yang tidak membuka lahan pada setiap tahun, maka mereka mempunyai beban psikologis sehingga masyarakat sekitarnya menganggapnya sebagai orang yang malas.
5.      Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat Desa Pomontoro masih tergolong sangat rendah, hal ini juga dipengaruhi oleh kurangnya sarana dan prasarana pendidikan yang ada di Desa Pomontoro, selain itu kurangnya informasi yang didapatkan masyarakat Desa Pomontoro terhadap pengembangan berbagai jenis tanaman lain yang dapat meningkatkan taraf hidup bagi petani, hal ini dipengaruhi Desa Pomontoro dengan Desa atau daerah lain memiliki jarak yang cukup jauh dan akses jalannya sangat memprihatinkan.
Berdasarkan faktor-faktor yang dikemukakan di atas maka kegiatan berladang berpindah-pindah massih tetap dipertahankan oleh masyarakat suku Moronene, selain itu sebagai salah satu upaya untuk mengatasi atau memenuhi kebutuhan hidup bagi petani dan keluarganya.
C.    Proses Pelaksanaan Motasu pada Suku Moronene
Dalam melakukan kegiatan berladang berpindah-pindah sebelum mengolah lahan terlebih dahulu para petani memilih lokasi atau daerah yang berada di pinggiran sungai yaitu sungai hambawa, hal ini disebabkan karena lokasi tersebut dekat dengan sumber air sehingga kebutuhan akan air dapat terpenuhi dengan baik.
Adapun tahap-tahap kegiatan berladang adalah sebagai berikut:
1.      Peninjauan Lokasi
Peninjauan lokasi dalam suku moronene disebut dengan momo wita. Proses untuk meninjau lokasi yang akan dijadikan lahan berladang biasanya dilakukan secara berkelompok dan bisa juga dilakukan secara perorangan. Menurut Jupri (informan) tahapan peninjauan lokasi yang dilakukan oleh petani di Desa Pomontoro dimaksudkan untuk melihat kondisi lahan dari berbagai aspek yakni:
a.       Apakah lokasi yang dijadikan ladang merupakan lokasi larangan atau keramat, yang jika dianggap keramat atau larangan maka tidak akan dilakukan pembukaan lahan. Lokasi yang dikeramatkan biasanya terdiri dari lokasi perkeburan para leluhur mereka, mata air, atau tempat peristirahatan hewan.
b.      Apakah lokasi yang dijadikan ladang lokasinya masih subur. Lokasi yang kurang subur biasanya ditandai oleh tanahnya yang berwarna kuning dan tanahnya terlalu berpasir.
c.       Apakah lokasi yang dijadikan ladang telah ada yang memiliki atau mengolahnya terlebih dahulu.
2.      Pengolahan Lahan
Setelah dilakukan penebangan maka dilaksanakan upacara mobelai yaitu upacara adat yang dilakukan pada saat masyarakat mulai menanam padi dengan tujuan agar tanaman padi ladang terhindar dari berbagai hama penyakit dan gangguan lain yang dapat merusak tanaman.
Upacara mobelai dilakukan oleh tompuroo (dukun padi), di suatu lahan perladangan dan disitulah tumporoo membacakan mantera-mantera atau doa-doa untuk memohon kepada dewi padi (sanggoleo mpae) agar tanaman yang ditanam oleh petani dapt berhasil dengan baik dan melimpah.
3.      Pembuatan Pagar
Setelah lahan yang diolah para petani telah bersih dari berbagai macam kayu-kayu dan rumput-rumputan, maka pembuatan pagar segera dimulai. Pada suku Moronene pembuatan pagar disebut dengan mewalla yang berfungsi melindungi tanaman padi ladang dari serangan hama.
4.      Mempersiapkan Benih
Proses mempersiapkan benih pada suku Moronene disebut mompososadia polongo. Benih yang digunakan adalah varietas lokal yaitu beras merah (pae gima) dan beras ketan hitam (pae dai molori), selain itu benih yang disiapkan oleh para petani adalah benih yang berisi agar dapat tumbuh dengan baik dan petani mendapat hasil panen yang maksimal.
5.      Menanam
Menanam/menugal padi ladang pada suku moronene disebut dengan  motasu. Waktu penanaman padi ladang harus diperhitungkan secara cermat agar produksi tanaman padi ladang dapat meningkat terutama dalam hubungannya dengan ketersediaan hujan, karena air hujan memiliki ciri-ciri khas yang tidak  teratur, baik jumlah maupun distribusiya dalam kurun waktu satu tahun. Oleh karena itu waktu penanaman padi ladang harus diperhitungkan dengan curah hujan, karena lahan kering tidak memiliki sumber air tanah yang mudah dikelola.
6.      Pengendalian Hama
Pengendalian hama pada suku moronene disebut (mondaka pae), yaitu  kegiatan yang dilakukan para petani untuk menjaga tanamannya dari gangguan hama. Dalam pengendalian hama, petani biasanya menggunakan cara-cara tradisional antara lain membuat:
a.       Wokeo: jerat yang dibuat dari bambu yang runcing dan ditempatkan dimana hama babi (wawi) dapat memasuki ladang.
b.      Lompa-lompa: suatu alat yang akan menimbulkan bunyi jika ditarik, alat ini dibuat dari bambu yang telah dibelah dan diikatkan kaleng-kaleng bekas serta diberi tali sebagai alat penarik.
7.      Memanen
Dalam bahasa moronene, memanen disebut pongkatua. Kegiatan ini dilakukan pada saat padi ladang telah menguning, gabah berisi dan keras, proses pemanenan ini dilakukan secara gotong royong (meliuha) dengan menggunakan arit. Kegiatan ini merupakan kegiatan akhir dari penanaman padi ladang.
Apabila tahapan-tahapan sudah dilakukan sampai pada pemanenan, setelah panen merata maka dilaksanakan pesta panen (mewuwusoi). Pesta panen merupakan suatu upacara syukuran, dimana seluruh warga (kelompok tani) telah mendapatkan hasil panen dengan baik. Proses upacara “mewuwusoi” diawali dengan acara mandi-mandi di laut atau sungai yang hanya dilaksanakan oleh anak dukun padi (klik) dan disertai dengan pembacaan doa-doa oleh dukun padi. Setelah mandi-mandi mereka kembali ke rumah untuk melanjutkan acar doa ucapan syukur yang disebut mesuketi.



DAFTAR PUSTAKA

Deptan. 1983. Pedoman Bercocok Tanam Padi, Palawija, Sayur-sayuran. Jakarta: Satuan Pengendali Bimas
BPP Kecamatan Mataoleo. 2012. Bombana


INTEGRITAS SEBAGAI SPIRIT DALAM MEWUJUDKAN KESADARAN HUKUM WARGA NEGARA MELALUI ETNOPEDAGOGI PKn (STUDI NILAI-NILAI BUDAYA SIRI’ ADAT BUGIS-MAKASSAR)


Oleh:
 Hasbullah

A.    Pendahuluan
Negara Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan atas kekuasaan semata (machtstaat). Hal ini dapat ditinjau pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa “negara Indonesia adalah negara hukum”. Ketentuan aturan tersebut berimplikasi pada praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang harus menjunjung tinggi cita-cita hukum, nilai-nilai hukum, prinsip-prinsip hukum dalam rangka mewujudkan kesadaran hukum warga negara.
Jika ditinjau dari aspek hukum, kesadaran hukum telah didukung oleh beberapa peraturan perundangan yang berlaku seperti (a) TAP MPR RI No.XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang mengamanatkan  bahwa, ‘penyelenggara negara pada lembaga eksekutif, legisltaif dan yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik serta bertanggungjawab kepada masyarakat, bangsa dan negara melalui sikap ‘jujur’, ‘adil’, ‘terbuka’ dan ‘terpercaya’ serta ‘mampu membebaskan diri praktek korupsi, kolusi dan nepotisme’. (b) TAP MPR RI No.VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang secara tegas mengamanatkan bahwa pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa harus mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab serta menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga negara dan (c) Permendikbud No.23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang melibatkan pemerintah, guru, masyarakat dan orang tua melalui 18 nilai pendidikan karakter diantaranya religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, mandiri, demokratis, cinta tanah air, peduli, tanggungjawab dan sebagainya. 
Namun, praktik kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia masih belum sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh ketentuan peraturan perundangan tersebut. Hal ini dapat dilihat fenomena-fenomena sosial yang muncul antara lain:
1.    Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat penyelenggara negara seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) (2016) mengungkapkan bahwa total kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi sepanjang 2015 mencapai Rp 31,077 triliun dengan sebagian besar modus yang digunakan adalah penyalahgunaan anggaran, penggelapan anggaran (mark up). Selain itu, Transparansi International (2015) juga mengungkapkan bahwa index korupsi  negara Indonesia berada pada peringkat 88 di dunia.
2.    Lemahnya penegakan hukum, korupsi yang semakin merebak dengan wajah baru, kolusi dan nepotisme dengan wajah demokrasi, etika politik yang  sangat mengecewakan rakyat (Kaelan, 2011)
3.    Potret dekandensi moral generasi penerus bangsa seperti  tawuran/ perkelahian, penggunaan obat-obatan terlarang, pembunuhan, pemukulan terhadap guru, munculnya fenomena peer-group atau geng motor, pencurian maupun pergaulan bebas dikalangan remaja.
            
Dalam  Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993), kesadaran hukum didefinisikan sebagai: (1) insaf; merasa tahu dan mengerti tentang nilai-nilai hukum dan (2) sadar untuk menegakkan hukum didalam kehidupan bermasyarakat. Lebih lanjut Wignjosoebroto (2002) mengemukakan bahwa, kesadaran hukum adalah  kesediaan warga masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan keharusan yang ditetapkan oleh hukum. Kesadaran  hukum akan memotivasi warga masyarakat untuk secara suka rela menyesuaikan segala perilakunya kepada ketentuan hukum perundang-undangan negara yang berlaku.  Singkatnya, unsur-unsur kesadaran hukum mencakup: (1) pengetahuan hukum (2) pengakuan hukum; (3) sikap hukum dan (4) perilaku hukum (Soerjono Soekanto, 1987; B. Kutschincky, 1973; dan Wignjosoebroto, 2002).
Dalam rangka mewujudkan kesadaran hukum warga negara diperlukan upaya secara terencana, sistematis dan programatik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah melalui pendidikan kewarganegaraan yang dimaksudkan untuk mengembangkan "civic competencies" meliputi "civic knowledge, civic dispositions, civic skills" yang berorientasi pada kemampuan integratif "well-informed and reasoned decision making". Secara instrumental dan praksis, dimensi kemampuan tersebut diperlukan oleh individu agar dapat berperan sebagai "participative and responsible citizen" (CCE:1996) atau warga negara Indonesia yang cerdas dan baik (to be good and smart citizen) (Sapriya&Wahab, 2011; dan Winataputra:2001, 2015).
Lebih lanjut, Cogan (1996) dan Winataputra (2001) mengemukakan bahwa pendidikan kewarganegaraan mengemban misi multidimensional meliputi (1) misi psikopedagogis yakni pengembangan potensi peserta didik; (2) misi psikososial yakni penyiapan peserta didik untuk hidup dan berkehidupan dalam masyarakat negara bangsa; dan (3) misi sosiokultural untuk membangun budaya kewarganegaraan sebagai salah satu determinan kehidupan yang demokratis.  Ketiga misi tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi Marusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Singkatnya, pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun karakter bangsa (nation and character building) yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karena itu, pembelajaran pendidikan kewarganegaraan perlu menggali nilai-nilai kearifan lokal guna merespon permasalahan yang muncul di lingkungan masyarakat. Dalam konteks tersebut, nilai-nilai kearifan lokal yang dikaji adalah  “Budaya Siri’ Adat Bugis-Makassar”.


B.     Hakikat  Integritas dalam Kehidupan

Kata  integritas dalam bahasa Latin adalah "integrate", artinya komplit, utuh dan sempurna (tidak ada cacat).  Integritas adalah tanpa kedok, bertindak sesuai dengan yang diucapkan, konsisten antara iman dan perbuatan, antara sikap dan tindakan. Dalam konteks ini, integritas adalah rasa batin “keutuhan” yang berasal dari kualitas seperti kejujuran dan konsistensi karakter. Dengan demikian, seseorang dapat menghakimi bahwa orang lain “memiliki integritas” sejauh bahwa mereka bertindak sesuai dengan, nilai dan prinsip keyakinan mereka mengklaim memegang[1][7]. Sedangkan menurut  kamus besar bahasa Indonesia,  integritas adalah   mutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan; kejujuran.
Selanjutnya setelah membahas mengenai hakikat  integritas diatas maka dalam makalah ini akan mencoba memaparkan integritas dalam dua prespektif yaitu integritas  diri sendiri dan integritas dalam kepemimpinan
1.      Integritas Diri
2.      Integritas adalah sebuah keunggulan diri pribadi  yang menjadikan seseorang  hidup lebih sehat dan tanpa beban, karena  mereka  menjalankan hidupnya jauh dari  aneka kepura - puraan dan kepalsuan. Dimana pun dia berada, dan kondisi apa pun yang  menekannya, ia tetap hidup konsisten dengan nilai- nilai yang dianutnya. Orang yang  memiliki integritas diri mampu memberi pengaruh besar dan positi f dalam kehidupan,  bahkan untuk generasi  penerus mereka, melalui keteladanan dan apa saja yang mereka  selalu perjuangkan


C.    Integritas Sebagai Spirit dalam Mewujudkan Supremasi Hukum
Integritas merupakan salah satu atribut terpenting atau kunci yang harus dimiliki seorang pemimpin. Integritas adalah suatu konsep berkaitan dengan konsistensi dalam tindakan-tindakan, nilai-nilai, metode-metode, ukuran-ukuran, prinsip-prinsip, ekspektasi-ekspektasi dan berbagai hal yang dihasilkan. Orang berintegritas berarti memiliki pribadi yang jujur dan memiliki karakter kuat. Orang-orang yang memiliki integritas  mengatakan kebenaran, dan orang-orang itu memegang kata-kata mereka.  Mereka bertanggung-jawab atas tindakan-tindakan mereka di masa lalu, mengakui  kesalahan mereka dan mengoreksinya. Mereka mengetahui hukum yang berlaku  dalam negara mereka, industri mereka dan perusahaan mereka – baik yang  tersurat maupun yang tersirat – dan mentaatinya. Mereka bermain untuk menang  secara benar (bersih), seturut peraturan yang berlaku. ”Berbagai survei dan studi  kasus telah mengidentifikasikan integritas atau kejujuran sebagai suatu  karakteristik pribadi yang paling dihasrati dalam diri seorang pemimpin.
Dari uraian tersebut diatas semakin memperjelas bahwa yang dimaksud dengan integritas adalah konsistensi atau keteguhan yang tidak dapat tergoyahkan dalam menjungjung nilai-nilai keyakinan dan prinsip. Atau Integritas merupakan konsep yang menunjukan konsistensi atau keteguhan tindakan dengan nilai-nilai dan prinsip. Jika pada etika integritas dapat diartikan sebagai kebenaran dan kejujuran tindakan yang dilakukan seseorang. Di dalam dunia kerja Integritas dapat diartikan sebagai konsisten dalam bertindak sesuai dengan kode etik dan kebijakan tempat bekerja. Mempunyai pemahaman dan keinginan untuk menyesuaikan diri dengan etika dan kebijakan tempat bekerja serta dapat bertindak secara konsisten untuk melaksanakannya. Intergritas menjadi salah satu elemen pada karakter yang mendasari timbulnya spengakuan sikap profesional. Dapat menjadi kualitas yang melandasi timbulnya kepercayaan orang lain dan menjadi patokan bagi anggota-anggota lain dalam menguji pegambilan suatu keputusan dalam pekerjaan. Integritas mewajibkan seseorang dalam menjalankan profesinya untuk slalu bersikap jujur, terus terang dan konsisten. Misalnya seorang pemimpin harus mengutamakan pelayanan kepada masyarakat sehingga masyarakat jadi percaya, jadi tidak boleh mengutamakan keuntungan pribadi.
Rasa malu adalah sebuah spirit dalam membentuk sebuah integritas oleh individu baik sebagai pejabat publik maupun sebagai individu dalam masyarakat. Dengan tertanamnya budaya malu kepada setiap individu maka sangat memungkinkan untuk terbentuknya sebuah integritas kepada  setiap individu- individu. Dengan demikian  Integritas dibutuhkan oleh siapa saja, tidak hanya pemimpin namun juga yang dipimpin. Orang-orang menginginkan jaminan bahwa pemimpin mereka dapat dipercaya jika mereka harus menjadi pengikut-pengikutnya. Mereka merasa yakin bahwa sang pemimpin memperhatikan kepentingan setiap anggota tim dan sang pemimpin harus menaruh kepercayaan bahwa para anggota timnya melakukan tugas tanggung-jawab mereka. Pemimpin dan yang dipimpin sama-sama ingin mengetahui bahwa mereka akan menepati janji-janjinya dan tidak pernah luntur dalam komitmennya. Orang yang hidup dengan integritas tidak akan mau dan mampu untuk mematahkan kepercayaan dari mereka yang menaruh kepercayaan kepada dirinya. Mereka senantiasa memilih yang benar dan berpihak kepada kebenaran. Ini adalah tanda dari integritas seseorang. Mengatakan kebenaran secara bertanggung jawab, bahkan ketika merasa tidak enak mengatakannya.
Selanjutnya persoalan mengenai  supremasi hukum dan sebuah integritas, Perbincangan mengenai hukum dan penegakan hukum di Indonesia adalah sama dengan mempertautkan ke dua sisi normatif dan sisi empirik yang merupakan pasangan replektif (membias) mulai dari proses pembuatan hukum, perwujudan serta pelaksanaan fungsi hukum (penegakan hukum dan keadilan), dalam rangka merespon kebutuhan masyarakat yang sedang membangun di segala bidang, dalam mencapai tujuan hukum yakni mewujudkan keadilan, menciptakan kepastian hukum dan memberikan kegunaan (kemanfaatan) bagi masyarakat. Sorotan terhadap hukum dan penegakan hukum bukanlah merupakan sosok yang baru di tanah air kita, dia begitu penting untuk dibicarakan karena hal ini tidak saja merupakan tugas dan amanah konstitusi (UUD 1945), tetapi lebih jauh di sisi lain ia juga merupakan tonggak sekaligus benteng untuk tegaknya hukum dan keadilan. Hal ini berhubungan dengan kelangsungan masa depan pencari keadilan di Indonesia
 Sebagai negara hukum sebenarnya prinsip-prinsip supremasi hukum harus sudah terlaksana semenjak UUD NRI Tahun 1945 dideklarasikan. Supremasi hukum mengandung makna bahwa (1) government is under the law; (2) keberadaan  kekuasaan kehakiman yang merdeka; (3) ”access to justice” bagi mereka yang menjadi korban pelanggaran hukum baik oleh anggota masyarakat yang lain maupun oleh kekuasaan harus terbuka luas; (4) hukum harus ditegakkan secara umum non diskriminatif, adil dan pasti; prinsip-prinsip supremasi hukum menjadi sangat menonjol di era reformasi  atau demoratisasi saat ini, karena supremasi hukum merupakan salah satu ”core values of democracy”.  Di satu pihak, supremasi hukum menjaga untuk tidak terjadinya praktek-praktek ”abuse of power” kekuasaan, dan di lain pihak supremasi hukum menjaga agar masyarakat dalam menjalankan hak-haknya tidak terjerumus dalam anarchisme. Demokrasi, supremasi hukum dan promosi serta perlindungan HAM merupakan prinsip-prinsip untuk menjalankan roda pemerintahan secara beradab.
Maka dengan demikian sejatinya sudah  hampir  tujuh puluh dua  tahun telah  memulai yang namanya sebuah  reformasi, keinginan untuk memperoleh good governance and clean government  namun masih jauh daripada harapan. Berbagai kendala menampakkan diri dalam bentuk gejolak politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, pemerintahan, yang simpang siur dan menimbulkan ketidakpastian yang bermuara pada keresahan dan letupan-letupan yang membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Sebuah reformasi yang diharapakan seakan hanya menjadi sebuah eutopia dan fatamorgana, pejuang- pejuang hukum  silih berganti untuk membuktikan diri sebagai jargon pejuang keadilan namun tidak sedikit yang justru berlabuh dibalik tirai besi. Pejuang keadilan yang benar- benar sejati justru mereka tereliminasi dan terlempar oleh sebuah kriminalisasi dan kuatnya hegemoni kekuasaan.
Hal ini semakin mempertegas bahwa negeri tercinta yang kita kenal dengan zamrut khatulistiwa  ini sedang sakit dan krisis akan sebuah integritas terhadap meraka yang memegang sebuah kekuasaan. Hukum diperjual belikan oleh mereka yang memilki kepentingan. Para pejuang hukum pun banyak yang tersandera oleh nikmatnya tawaran- tawaran materi yang ditopang oleh kuatnya kehidupan matrealistik dan hedonistik. Pertanyaan yang harus menjadi perhatian adalah bahwa sudah menjadi sebuah rahasia umum  apakah orang yang hidup lurus, mesti kurus di zaman ini? Atau Mungkin sebahagian berfikir secara sadar bahwa integritasnya terhadap penegakan hukum telah saat ini menciptakan banyak musuh.
Bangsa ini sedang mengalami krisis moral dan karakter akut. Penangkapan terhadap penegak hukum yang terkena OTT bukan kali ini saja. Ini membuktikan moral dan karakter penegak hukum kita masih lemah. Hukum di Indonesia akan semakin tumpul ke atas dan runcing ke bawah. Revolusi mental juga perlu ditujukan kepada para birokrat dan penegak hukum. Integritas penegak hukum di Indonesia perlu dipertanyakan. Hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum  memiliki kode etik. Sebagai standar moral kode etik hakim tentu wajib dijalankan. Kejadian ini menunjukkan oknum hakim belum melaksanakan kode etik profesinya. Kode etik profesi hakim bukanlah sesuatu yang datang dari luar. Itu mestinya terwujud dari penghayatan terhadap hukum itu sendiri. Kode etik harus dijunjung tinggi dengan penjiwaan atas Pancasila.
Hakim sebagai salah satu penegak hukum memiliki kedudukan istimewa. Di tangannya keputusan kebenaran dan keadilan itu ditentukan. Setiap keputusannya berorientasi kepada penegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Hakim mestinya tidak mudah tergoda dengan apapun. Saat menjalankan tanggungjawabnya, hakim harus objektif. Dengan begitu, hakim harus berdiri di atas kedua belah pihak yang memiliki perkara. Ini sebagai salah satu kode etik utama yang mesti dipegang oleh setiap hakim.
Meskipun demikian kondisinya  tetap dibutuhkan sebuah kebernian dan komitmen oleh semua elemen bangsa dan stekholder dalam penegakan hukum untuk mengembalikan hakikat hukum yang sebenarnya yaitu tetang lahirnya sebuah keadilan dari mereka yang senangtiasa mencari dan membutuhkan sebuah keadilan. Hal tersebut menjadi sebuah tuntutan untuk segera  dilaksanakan sebagai titah nurani untuk mewujdkan Indonesia yang lebih baik, namun apabila kondisi ini terus dibiarkan dengan tetap memberi ruang kepada para penjahat berdasi yaitu para koruptor maka impian negeri yang maju  berdikari dan mandiri hanya akan menjadi sebuah semboyan dan slogan yang tidak berarti. Rakyat hanya akan selalu disuguhkan dengan impian dan harapan yang tidak kunjung terealisasi.
Konon, di Tiongkok kuno orang menginginkan rasa damai dari kelompok Barbar utara, itu sebabnya mereka membangun tembok besar. Tembok itu begitu tinggi sehingga mereka sangat yakin tidak seorang pun yang bisa memanjatnya dan sangat tebal sehingga tidak mungkin hancur walau pun didobrak. Sejak tembok itu dibangun dalam seratus tahun pertama, setidaknya Tiongkok telah diserang tiga kali oleh musuh-musuhnya, namun tidak ada satu pun yang berhasil masuk karena temboknya yang tinggi, tebal dan kuat. Suatu ketika, musuh menyuap penjaga pintu gerbang perbatasan itu. Apa yang terjadi kemudian? Musuh berhasil masuk.  Orang Tiongkok berhasil membangun tembok batu yang kuat dan dapat diandalkan, tetapi gagal membangun integritas pada generasi berikutnya. Seandainya, penjaga pintu gerbang tembok itu memiliki integritas yang tinggi, ia tidak akan menerima uang suap itu yang tidak hanya menghancurkan dirinya tapi juga orang lain.
  Betapa sering kita meremehkan dan memandang sebelah mata terhadap arti penting sebuah integritas. Padahal, walaupun ada pengorbanan dan harga yang harus dibayar demi sebuah integritas, akan lebih banyak risiko dan akibat fatal yang terjadi jika harus mengorbankan integritas. Bila kita tidak memperhatikan sikap dan tindakan, kenikmatan sesaat seringkali berujung pada akibat buruk yang berkepanjangan. Sepenggal cerita diatas menjadi sebuah deskripsi tentang pentinya sebuah integritas. Oleh karena itu supremasi hukum baru dapat  diimplementasikan manakala sebuah integritas  telah tertanam dalam nurani oleh mereka yang punya jiwa- jiwa idealisme  yang mengatasnamakan pejuang keadilan. Tuntutan  ini  bukan lagi sebuah tawaran namun sudah menjadi keharusan dan kewajiban bagi setiap penegak hukum dinegeri ini untuk melaksanakanya.
 Sepenggal ilustrasi tentang makna integritas diatas maka berujung pada kesimpulan saya bahwa kriteria integritas sebagai persyaratan pertama dalam memilih pimpinan, baru berikutnya menyusul syarat kapabilitas intelektual dan manajerial. Semakin banyak tipe manusia dengan integritas yang tinggi akan menentukan maju mundurnya suatu lembaga dan lebih luas lagi akan menentukan masa depan suatu negara. Jika demikian halnya, saya jadi bertanya-tanya kalau Indonesia sampai saat ini masih berkutat dalam upaya  melepaskan diri dari jerat korupsi yang sedemikian sistemik, apakah ini ada kaitan   nya dengan integritas para pemegang jabatan negara ya? Di antara begitu banyaknya pemimpin negara di kelembagaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, siapa-siapa saja  yang menunjukkan seorang pemimpin yang berkarakter dan berintegritas tinggi sehingga mampu menumbuhkankan trust di hati banyak warga bangsa Indonesia?  Kalau mencari pemimpin yang berpendidikan tinggi , yang ahli atau pakar di bidangnya tentunya kita tidak akan kesulitan menemukannya. Indonesia berlimpah dengan sarjana. Magister, doctor, dan professor setiap tahun juga semakin bertambah jumlahnya. Namun, siapa pemimpin yang betul-betul berintegritas tentunya tidaklah sebanyak jumlah para pakar.
Sungguh celaka kalau ternyata pemimpin yang berintegritas itu sulit ditemukan, dan sebaliknya yang banyak justru tipe sebaliknya yakni tipe hipocricy . Jika begitu maka Indonesia sungguh-sungguh dalam ancaman bahaya.  Bahaya yang mengancam ini bukan main-main. Karena pemimpin yang tidak jujur, lebih mengutamakan kepentingan pribadi , kelompok dan golongan akan cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Lembaga atau Negara  yang mengalami krisis  integritas akan mengalami kemerosotan akibat proses pembusukan dari dalam unsur-unsur organisasi atau negara itu sendiri.
D.    Konsep Siri’ Bugis-Makassar
Istilah kata siri’ dalam bahasa Bugis-Makassar berarti “rasa malu” yang mengandung makna malu apabila melakukan perbuatan yang tercela (siri’ lanri anggaukanna anu kodi). Apabila diterjemahkan dalam bahasa Inggris,  kata siri’ mengandung makna “shame” (malu), “self-respect”, “self-esteem”,dan “self-worth” (harga diri).)  Secara sederhana, nilai malu dan nilai martabat (harga diri) menyatu dan larut dalam sistem nilai budaya siri’ (Marzuki, 1995 dan Matulladaa 1988)
Siri’ pernah pula dibicarakan dan dikaji pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Komando Daerah Kepolisian (KOMDAK) XVIII 190 Implikasi Falsafah Siri’ Na Pacce Pada Masyarakat Suku Makassar bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin pada tanggal 11 Juli 1977 sampai dengan tanggal 13 Juli 1977 dengan tema “Mengolah Masalah Siri’ di Sulawesi Selatan Guna Peningkatan Ketahanan Nasional dalam Menunjang Pembangunan Nasional.” Adapun hasil seminar tersebut memberikan konsep dan batasan tentang siri’ antara lain:
1.      Siri’ dalam sistem budaya adalah pranata pertahanan harga diri, kesusilaan dan hukum serta agama sebagai salah satu nilai utamanya yang mempengaruhi dan mewarnai alam pikiran, perasaan dan kemauan manusia. Sebagai konsep budaya, ia berkedudukan regulator dalam mendinamisasi fungsi-fungsi struktrur dalam kebudayaan.
2.      Siri’ dalam sistem sosial, adalah mendinamisasi keseimbangan eksistensi hubungan individu dan masyarakat untuk menjaga kesinambungan kekerabatan sebagai dinamika sosial terbuka untuk beraluh peranan (bertransmisi), beralih bentuk (bertranformasi), dan ditafsir ulang (re-interpretasi) sesuai dengan perkembangan kebudayaan nasional, sehingga siri’ dapat ikut memperkokoh tegaknya Pancasila.
3.      Siri’  dalam sistem kepribadian, adalah sebagai perwujudan konkrit didalam akal budi manusia yang menjunjung tinggi kejujuran, keseimbangan, keserasian, keimanan dan kesungguhan untuk menjaga harkat dan martabat manusia (Moein, 1990: 42).
Pemikiran tersebut, memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat secara umum tentang makna dan tujuan siri’ yang patut untuk diyakini, dilaksanakan dan dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari.  Siri’ dipandang sebagai suatu sistem nilai sosial, budaya dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat.
Konsepsi  siri’ telah sejak dahulu dikenal serta dihayati di kalangan masyarakat Bugis-Makassar. Hal tersebut termuat dalam ungkapan kalimat bijak yang dikemukakan oleh para leluhur mereka melalui petuah-petuah lisan (pappaseng, pappasang) sebagai berikut: 
1.    Siri’taji nakitau artinya hanya siri’lah, maka kita dinamakan manusia. Maksudnya seseorang yang tidak mempunyai siri’, maka ia tidak ada artinya sebagai manusia (layak disebut binatang), karena sikap orang yang tidak mempunyai siri’ seperti perbuatan binatang (tidak punya malu).
2.    Siri’kaji tojeng, siri’taji tojeng artinya hanya siri’lah yang benar. Maksudnya perasaan siri’ atau malu karena melakukan perbuatan yang tercela, hal tersebut dianggap benar oleh hukum manapun (agama, adat dan negara).
3.    Punna taenamo siri’ku, manna kupannobokangki, taenamo nalantang lantang, artinya manakala tidak ada lagi siri’ ku, maka sekalipun aku menikamkan kerisku kepada tuan, tidaklah menjadi dalam lagi. Maksudnya apabila seseorang sudah tidak memiliki perasaan malu, maka orang tersebut sudah tidak mempunyai kehormatan dan kekuatan di hadapan orang lain. (Marzuki, 1995: 38).
Dari beberapa kajian literature, pembagian siri’ dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian berdasarkan penyebab timbulnya antara lain:
1.      Siri’ yang berasal dari luar pribadi manusia (siri’ ri-pakasiri’), maksudnya dipermalukan oleh orang lain.
2.      Siri’ yang berasal dari pribadi orang itu sendiri (penyebab di dalam) disebut siri’ masiri’, maksudnya malu yang berasal dari dirinya/keluarganya (Moein, 1990: 33).
3.      Siri’ dapat dikategorikan dalam empat (jenis) golongan, yaitu (a) siri’  yang dalam hal pelanggaran kesusilaan; (b) siri’ yang berakibat kriminal, (c) siri’ yang dapat meningkatkan motivasi untuk bekerja, dan (d) siri’ yang berarti malu-malu (Limpo, 1995: 87).
Lebih lanjut, menurut Anwar Ibrahim (1983) bahwa ada lima prinsip yang terkandung dalam budaya siri´ antara lain:
1.    Ada tongeng (kata-kata yang benar), maksudnya agar manusia berpegang teguh pada ada tongeng, melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang diucapkan;
2.    Lempu’ (lurus, jujur) maksudnya dapat dipercaya.
3.    Getteng (teguh pada keyakinan yang benar), maksudnya manakala suatu kebenaran telah dianut maka manusia harus berpegang teguh pada keyakinannya dan tidak akan goyah;
4.    Sipakatau (saling memanusiakan), maksudnya saling menghargai sesama manusia;
5.    Mappesona ri dewata seuae (berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa).

E.     Implikasi nilai-nilai budaya Siri’ dalam upaya mewujudkan kesadaran hukum warga negara.

Nilai-nilai budaya siri’ mengandung nilai malu dan martabat (harga diri) manusia yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Dalam konteks interaksi sosial, nilai siri’ melahirkan prinsip sipakatau yang bermakna saling memanusiakan dan sipakalebbi yang bermakna saling menghormati. Secara implisit konsep budaya siri’ memiliki nilai kebijaksanaan yakni kemampuan untuk mengambil keputusan yang bersifat rasional dan logis serta dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, nilai budaya siri’ juga mengandung nilai-nilai integritas yang meliputi, (a) kelekatan terhadap prinsip moral, (b) keyakinan terhadap hati nurani, (c) kemampuan mengingat perkataan, (d) konsistensi etika, (e) sikap jujur baik terhadap diri sendiri maupun orang lain (Lickona, 2012), (f) keberanian dan keyakinan diri, (g) kerja keras dan (h) berdoa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam kaitannya dengan kesadaran hukum warga negara, nilai-nilai siri’ dapat berperan sebagai penggugah (motivator) bagi warga negara guna mematuhi hukum. Nilai budaya siri’ (rasa malu)  harus dimiliki dan dipertahankan oleh seseorang karena akan membuahkan kebaikan, baik pada dirinya maupun pada orang di sekitarnya, dan apabila seseorang memiliki perasaan tersebut, maka dia akan berhati-hati dalam berbicara dan bertingkah laku. Rasulullah SAW, bersabda: “jika engkau tidak malu, berbuatlah apa yang engkau kehendak”. (HR Bukhori). Maksudnya apabila seseorang sudah tidak memiliki rasa malu lagi, maka dia tidak akan segan-segan melakukan segala pelanggaran moral dan perbuatan dosa. Hadits tersebut merupakan kata sindiran kepada seseorang yang apabila melakukan perbuatan yang dia kehendaki dengan menuruti hawa nafsunya, yaitu perbuatan yang dilarang oleh agama atau perbuatan tercela lainnya maka orang tersebut tidak mempunyai perasaan malu dan termasuk golongan orang yang lemah imannya, sehingga perasaan malu termasuk sebagian dari iman (Bahreisy, 1986: 545). Dengan kata lain, nilai malu menjadikan seseorang tidak mau melakukan hal-hal tercela dan terlarang, baik menurut hukum, agama maupun sosial-budaya sedangkan nilai martabat (harga diri) menanamkan dignity dalam diri seseorang guna mematuhi hukum.

Kesimpulan
            Nilai-nilai yang terkandung dalam budaya siri’ dapat mewujudkan kesadaran warga negara secara terencana, tersistematis dan programatik melalui pengadopsian (integrasi) nilai-nilai tersebut ke dalam pengembangan materi ajar dan kegiatan proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dipersekolahan.

DAFTAR PUSTAKA
Setandjo Wignjosoebroto, 2002. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Penerbit HUMA, hal. 379-384
Soerjono Soekanto, 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 217-219
Berl Kutschincky,  1973, Knowledge and Opinion about Law, Martin Robertson, London. dalam Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta, hal. 159
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hal. 765 Winataputra, & Dasim Budimansyah (2012). “PKn dalam Persepktif Internasional: Konteks, Teori, dan Profil Pembelajaran”. Bandung:Widya Aksara Press
Limpo, Syahrul Yasin. 1995. Profil Sejarah, Budaya  dan  Pariwisata  Gowa. (Cet. I). Ujung Pandang: Intisari.
Marzuki, H. M. Laica. 1995. Siri’: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum). (Cet.I). Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.
Moein M.G., Andi. 1990. Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar dan Sirik na Pacce. Ujung Pandang: Mapress.
Sariya dan Wahab.A.A (2011). Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung:Alfabeta
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional
Winataputra, (2001). “Jati Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Demokrasi”. Bandung: Program Pascasarajana UPI (Disertasi)
__________, (2014). Makalah diskusi dalam Seminar AP3KnI tentang “Diskursus Aktual Tentang Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam Konteks Kurikulum 2013”.

Internet