Abstract
The
Elite Thought Conception of Hisbut Tahrir Indonesia Against Nationalism Awareness ( A Case Study In Kendari City)
Hasbullah
Hasbullahkabasan1@gmail.com
This research is based on the reality of the
pluralistic Indonesian society consisting of thousands of islands. The
pluralistic Indonesian society are not only being a blessing but also become a
challenge of the existence of the Unitary State of the Republic of Indonesia. This condition is increasingly worried because
of the increasing influence of transnational organizations which one of them is
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) who want to realize the concept of caliphate state.
Therefore, the researcher intended to see and describe the views of the elite
group of Hizbut Tahrir to the awareness of nationalism as an effort to maintain
the Unitary Republic of Indonesia. In this present study, the researcher employed
a qualitative approach and a case study as the research method. The process of
collecting data through observation, interviews, documentary studies, and
literature studies. Then, the researcher used the stages of data analysis in
the form of data collection, data presentation, data reduction, and data
verification/conclusion. The results of research on the elite view of Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) toward the nationalism awareness found that Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) strongly rejected the concept and consciousness of nationalism
because it is considered a weak bond and weakens the Islamic ummah. It makes
Islam divided into small countries which is easy to master and bring into
conflict.The guidance is done to the community or the ummah is by using the
method or tariqah da'wah as Prophet Muhammad SAW did by forming a group of
da'wah through halaqah who are ready to fight for Islam in realizing an Islamic
government with the concept of caliphate. While the impact of the movement of
Hizbut Tahrir Indonesia to nationalism awareness is every cadre of activists
and sympathizers are not expected to make awareness and the concept of
nationalism as important because the concept and nationalism awareness can
weaken the Islamic ummah. The
implications for education and Civics are to be concerned that fostering
national consciousness is not only in the formal scope but also must be
maximized in non-formal scope of social environment in fostering nationalism
awareness by synergizing with islamic boarding schools, organizations of
Nahdatul Ulama and Muhamadiyah in developing awareness of nationalism in formal
educational institutions and education in the cultural social scope that has
not been optimal in realizing nationalism awareness.
Keywords:
Hizbut Tahrir Indonesia, Community
Development, Nationalism Awareness
1.
Pendahuluan
Indonesia
dikenal sebagai sebuah bangsa yang besar
yang terdiri dari beribu-ribu pulau dari
Sabang sampai ujung Merauke. Realitas ini menuntut seluruh masyarakat Indonesia memiliki
tanggung jawab besar untuk tetap menjadi bangsa yang satu dengan tetap dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemerdekaan bangsa Indonesia yang
telah didapatkan 71 tahun sejak proklamasi dikumandangkan adalah merupakan hasil dari para perjuangan para dan pahlawan
untuk bangsa ini. Para pejuang dan pendiri bangsa tidak saja hanya melepaskan
bangsa ini dari penjajahan melainkan mereka menjadikan bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang besar yang menyatukan berbagai latar belakang etnis,agama, suku,
budaya,ras menjadi satu kesatuan di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keberagaman
dan luasnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki kekayaan
alam yang berlimpah selain sebagai berkah juga disisi lain sebagai sebuah
tantangan dan acaman akan tetap terjaganya kesatuan dan keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dimasa yang akan datang. Masa kontemporer di abad ini ancaman mengenai disintegrasi yaitu sebuah
keinginan untuk memisahkan diri dan menjadi sebuah negara sendiri hampir
terjadi disetiap belahan dunia. Hal ini semakin mempertegas bahwa ancaman
disintegrasi adalah sebuah tantangan serius yang harus dihadapai dengan serius oleh setiap bangsa dan negara
termasuk Indonesia.
Sebagai
salah satu upaya dalam rangka mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah menanamkan rasa dan kesadaran nasionalisme melalui pendidikan. Pendidikan yang dimaksudkan bukan saja
hanya pendidikan yang mencakup pendidikan formal tetapi juga pendidikan secara umum termasuk pendidikan dalam dimensi sosial kultural
sebagaiamana diungkapkan (Winataputra, 2012).Sebagai salah satu program
pendidikan menurut winataputra menjelaskan salah satu domain sosio kultural
dengan istilah comuniti civic education
merupakan dimensi sosial kultural
dalam pengembangan smart and good
citizens untuk pembelajaran yang
sangat luas dan beragam, substransi dan proses pendidikanya bersifat contextually customized, fleksible, less
structured, enculturation oriented. Di dalam masyrakat biasa disebut community civic education yang dapat dikembangkan
untuk berbagai komunitas masyarakat bangsa dan Negara.misalnya untuk pejabat
Negara dan birokrat (administrasion civic
education) politisi (Political
education) akademisi (professional civic education)
praktisi/teknisi wartawan (practitioner civic education). Pejabat
pada pemerintah daerah ,kelompok masyarakat (popular civic education (winataputra, 2012:257:258)
Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya pendidikan secara umum tidak
hanya pendidikan secara formal tetapi juga pendidikan dalam lingkup sosial
kultural. Namun demikian dalam konteks pendidikan secara sosial kultur belum
berjalan secara optimal dalam mewujudkan semangat kesadaran nasionalime.
Realitas ini tentu bertolak belakang dengan lahirnya organisasi-organisasi besar
yang bersifat transnasional yang sebagian memungkinkan akan turut mempengaruhi
kesadaran nasionalisme warga negara Indonesia yang salah satunya yaitu Hizbut
Tahrir Indonesia yang mengusung konsep word state bukan national state. Maka oleh karena itu melalui penelitian ini akan
dapat menggambarkan pandangan elit Hizbut Tahrir Indonesia terhadap kesadaran
nasionalisme.
2.
Tinjauan
Teoritis
2.1
Konsep Nasionalisme
Nasionalisme adalah sebuah keniscayaan
dalam berdirinya sebuah bangsa menuju sebuah peradaban. Menurut Smith (2003:
11) nasionalisme adalah suatu gerakan ideologis uantuk mencapai dan
mempertahankan otonomi, kesatuan dan identitas bagi suatu populasi, yang
sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa yang actual atau bangsa yang potensial. Pandangan
yang berbeda dijelaskan oleh Sarjono Powespardojo (2010:116) yaitu nasionalisme
adalah paham kebangsaan yang menyatakan loyalitas tertinggi terhadap masalah-
masalah duniawi dari setiap Negara yang
ditujuakan terhadap bangsanya. Husen Muhamad (2000:45) menentukan kriteria
nasionalisme yang dijadikan dasar kewarganegaran yang mencakup kulture,
etnistas, bahasa dan wilayah. Sejalan dengan
pandang di atas Kalidjernih, F.K (2010:116) menjelaskan bahwa konsep
nasionalisme adalah menitiberatkan pada konsep ideologi yang menekankan bangsa
sebagai prinsip sentral dan organisasi politik dengan berbagai cita-cita dan
tujuan nasionalnya.
Definisi diatas mempertegas bahwa bangsa atau pun Negara
dengan memposisikan cita-cita dan tujuan yang menyatu dalam falsafah dan
perjalanan bangsa tersebut selalu
berhubungan dengan adanya kesetiaan warga Negara kepada bangsanya yang dapat
dipahami sebgai suatu kondisi yang harus berada di atas kepentingan pribadi
ataupun golongan. Sedangkan menurut O’Leary, B (1997) Nasionalism implies that loyality to the nation should be the first
virtue of a citizen, loyality to the nationalcomunity should, in general,
transcend layality to more particularidentification, personal, cultural,
economic, or political; and members of other nations. Dari kutipan pernyataan tersebut menjadi
jelas bahwa nasionalisme menekankan pada kesetian kepada bangsa merupakan hal
yang harus diutamakan sebagai warga Negara. Kesetian kepada bangsa tersebut
secara umum melampaui kesetiaan kepada hal- hal yang bersifat pribadi, baik
dalam hal budaya, ekonomi atau politik dan warga Negara yang memiliki jiwa
nasionalisme akan mengklaim memiliki moral yang lebih tinggi dari bangsa lain. Oleh kerena itu maka Hans Kohn (1971:9) berpendapat bahwa esensi
nasionalisme adalah sama, yaitu ‘a state
of mind, in which the supreme loyality of the individual is felt to be due the
nation state’ maksudnya adalah sikap mental
yang mana kesetian tertinggi dirasakan sudah selayaknya diserahkan
kepada bangsa dan Negara
Mempertegas pendapat di atas mengutip
pandngan Ita Mutiara dalam
mendeskripsikan tentang nasionalisme secara konseptual memiliki makna yang
beragam. Ada yang mengartikan nasionalisme sebagai (1) kulturnation dan staatnation;
(2) loyalitas (etnis dan nasional) dan keinginan menegakkan negara; (3)
identitas budaya dan bahasa, dan sebagainya. Berikut ini adalah paparan dari
beberapa definisi nasionalisme:
1)
Nasionalisme sebagai suatu bentuk
pemikiran dan cara pandang yang menganggap bangsa sebagai bentuk organisasi
politik yang ideal. Suatu kelompok manusia dapat disatukan menjadi bangsa
karena unsur-unsur pengalaman sejarah yang sama, dalam arti pengalaman
penderitaan atau kejayaan bersama.
2)
Nasionalisme adalah suatu identitas
kelompok kolektif yang secara emosional mengikat banyak orang menjadi satu
bangsa. Bangsa menjadi sumber rujukan dan ketaatan tertinggi bagi setiap
individu sekaligus identitas nasional.
3)
Nasionalisme pada dasarnya adalah
prinsip politik yang memegang kuat bahwa unit politik dan nasional seharusnya
kongruen. Nasionalisme dapat berbentuk sentimen maupun gerakan. Sentimen
nasionalisme adalah perasaan marah yang muncul karena pelanggaran prinsip atau
perasaan puas akibat pemenuhan suatu prinsip. Sedangkan gerakan nasionalis
adalah sesuatu hal yang ditunjukkan oleh sentimen perasaan itu (Dewi ita
Mutiara, 2008).
Pendapat di atas memberikan pemahaman
bahwa nasionalisme merupakan salah satu unsur dalam pembinaan kebangsaan atau nation building. Proses pembinaan
kebangsaan semua anggota masyarakat bangsa dibentuk agar berwawasan kebangsaan
serta berpola tata laku secara khas yang mencerminkan budaya maupun ideologi
bangsa. Hal ini dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan baik formal maupun
non formal (sosial kultur). secara khusus
salah satu mata pelajaran atau mata kuliah yang memiliki tanggung jawab
secara yuridis untuk mengembangkan kesadaran nasionalisme yaitu pendidikan
pancasila dan kewarganearaan yang Secara yuridis mengenai nasionalisme
dapat diliahat dalam penjelasan Pasal
77J ayat 1 huruf B Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 32 Tahun 2013 Tentang Standar Nasional
Pendidikan menyebutkan bahwa “Pendidikan kewarganegraan dimaksudkan untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia
yang memilki rasa kebangsaan, cinta tanah air, dalam konteks nilai dan moral
Pancasila, kesadaran berkonstitusi Undang- Undang Dasar Republik Indonesian
1945, nilai dan semangat Bhineka tunggal ika, serta komitmen Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Oleh karena itu bagi masyarakat Indonesia yang plural dan
heterogen harus lebih mengedepankan
wawasan kebangsaan dan semangat kebangsaan atau nasionalisme dalam menjaga
keutuhan bangsa Indonesia itu sendiri.
Nasionalisme yang menjadi
kekuatan bangsa Indonesia adalah nasionalisme yang berpondasi berdasarkan Pancasila.
Artinya, nasionalisme tersebut bersenyawa dengan sila-sila Pancasila,
diantaranya apa yang disebut oleh Bung Karno sebagai Socio-Nationalism. Nasionalisme yang demikian menghendaki
penghargaan, penghormatan, dan toleransi dalam kerangka persatuan nasional
(Soekarno 1963 ). Maka dapat dikatakan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia
berbeda dengan nasionalisme yang dianut oleh negara-negara yang individualis.
Semangat nasionalisme Indonesia dan negara-negara Asia pada umumnya adalah
nasionalisme yang muncul sebagai reaksi terhadap penindasan penjajahan
kolonial. Sementara pendapat lain
tentang nasionalisme dari sudut pandang cendekiawan muslim dapat dilihat pandangan
nasionalisme dalam pemikiran haji
Agus Salim (Suhartno 1995) bahwa nasionalisme yang dimaksud adalah bukan nasionalisme dalam arti yang semata-mata
berpatokan pada bangsa dalam arti yang
sempit dan bukan pula golongan orang tertentu melainkan nasionalisme yang didalamnya mengandung asas persamaan yang
menjadi dasar persaudaraan. Selain untuk
kesejahteraan dan keselamatan didalam dirinya juga mengandung perasaan
kemanusiaan, persaudaraan dan persamaan bangsa-bangsa yang tidak mengangkat
kebangsaan sebagai berhala yaitu tempat
menyembah, maksudnya yaitu pengagungan kebangsaan yang tidak berlebih-lebihan dan yang tidak
membahayakan rakyat, seperti yang ada di Eropa Barat sampai meninggalkan Tuhan
sama sekali.
Konsep diatas sejalan dengan krakteristik nasionalisme
bangsa Indonesia yang dijelaskan Mardawani (2014:196) mengenai ciri-ciri nasionalisme Indonesia,
yakni sebagai berikut:
a) Nasionalime
kerakyatan atau persatuan yang anti penjajahan. Kemerdekaan yang dirumuskan
bangsa Indonesia adalah pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia , dan bukan
pernyataan kemerdekaan perseorangan.
b) Nasionalime
kerakyatan/persatuan yang patriotik, yang religius. Nasionalisme Indonesia
lahir dari perjuangan gerakan kemerdekaan Indonesia dan bersumber dari Rahmat
Allah Yang Maha Kuasa dan keinginan luhur untuk membentuk kehidupan kebangsaan
yang bebas.
c) Nasionalime
kerakyatan/persatuan yang berdasarkan Pancasila. Nasionalisme Indonesia adalah
nasionalisme yang bersendikan kedaulatan rakyat yang berdasarkan Pancasila,
yang dalam pelaksanaanya bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan
tumpah darah Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut menciptakan perdamaian dunia yang abadi dan
berkeadilan sosial.
Nasionalisme bangsa dalam konteks yang dijelaskan di atas
adalah bentuk nasionalisme yang berlaku pada masa-masa pergerakan nasional
dalam mewujudkan dan mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan nasionalisme dalam konteks pasca reformasi sampai sekarang
lebih berfokus pada persatuan dan pencegahan dari disintegrasi bangsa
Indonesia.
2.2 Paradigma
PKn terhadap Nasionalisme
Nasionalisme Indonesia, tidak bisa disamakan dengan
nasionalisme Barat, karena nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang
bersenyawa dengan keadilan sosial, anti kolonialisme, yang oleh Bung Karno
disebut socio-nasionalism. Nasionalisme yang demikian adalah
nasionalisme yang menghendaki penghargaan, penghormatan, toleransi kepada
bangsa atau suku-bangsa lain. Dalam konteks Indonesia, pengalaman penderitaan
bersama sebagai kaum terjajah melahirkan semangat solidaritas sebagai satu
komunitas yang mesti bangkit dan hidup menjadi bangsa merdeka. Semangat
tersebut oleh para pejuang kemerdekaan dihidupkan tidak hanya dalam batas waktu
tertentu, tetapi terus-menerus hingga kini dan masa mendatang. Nasionalisme Indonesia agar tetap hidup dalam masyarakat Indonesia maka
perlu dilestarikan melalui lembaga pendidikan yang salah satunya melalui mata
pelajaran atau mata kuliah Pkn/PPkn.
Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan berdasarkan Undang-Undang No 3 Tahun 2002 Tentang
pertahanan negara harus dikembangkan
secara konseptual komprehensif dalam suatu undang-undang sehingga dapat
dijadikan arah bagi kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia.
Berdasarkan pada naskah akademik
rancangan undang-undang tentang
pendidikan Kewarganegaraan, oleh Direktorat jenderal Potensi Pertahanan
Departemen Pertahanan, dapat diketahui arah kebijakan pendidikan Kewarganegaraan masa kini dan kedepan sebagai
berikut (winarno, 2009):
a.
Pendidikan kewarganegaraan dimaksudakan untuk
menumbuhkan kepribadian Dwi warna yang
menjadi landasan cendekiawan warga
Negara. Intinya kepribadian manusia Indonesia yang diinginkan adalah manusia
Indonesia yang cerdas dan berpegang teguh pada nilai-nilai kepribadian bangsa.
Dengan kepribadian dwi warna yang cendekia, kehidupan berbangsa dan bernegara
berkembang dan nuasa saling memahami hak dan kewajiban antara penyelenggara
Negara dengan warga Negara, dan warga Negara sebagai bagian dari
masyarakat dunia demi tercapainya cita-cita
nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
b. Pendidikan
kewarganegaraan yang menanamkan
nilai-nilai cinta tanah air, moralitas, dan jiwa kebangsaan yang menjadi
identitas dan karakter bangsa dalam mencapai integritas bangsa,dijadikan
sebagai dasar yang kuat dan kokoh untuk mengembangkan dan membina kepribadian
Dwi Warna setiap warga Negara Indonesia. Pendidikan kewarganegaraan
mengembangkan nilai-nilai dan mendorong kesadaran terhadap hak dan kewajiban
warga Negara serta mengimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa
dan bernegara;
c. Pendidikan
Kewarganegaraan sudah terwadahi dalam sistem pendidikan nasional. Namun
pendidikan kewarganegaraan dalam sistem pendidikan nasional hanya mengaturnya
dilingkungan persokalahan (school civics),
sedangkan diluar lingkungan pendidikan tidaktercakup (community civics). Adanya perangkat hukum ini maka dapat memperkuat
kerangka pendidikan kewarganegaraan dalam sistem pendidikan nasional, disamping
memperluas jangkauan pengaturan pendidikan kewarganegaraan bagi seluruh warga
negara Indonesia;
d. Secara
umum pendidikan kewarganegaraan memiliki keterkaitan dengan hubungan antar
warga negara, hubungan warga negara dengan pemerintah, hak dan kewajiban warga negara, hokum,
demokrasi dan partisipasi warga Negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
serta membangun kesipan warga negara menjadi warga dunia. Maka dengan demikian
wajralah jika setiap negara kebangsaan yang demokratis dalam sistim
pendidikanya selalu ada program pendidikan kewarganegaraan sebagai bagian dari
kurikulum suatu sekolah. Hanya nama yang digunakan oleh setiap negara tentu
berbeda-beda, ada yang menggunakan ‘civic
education, political education, sosial studies, democracy education;
e. Pendidikan
kewarganegaraan pada intinya berkaitan dengan hubungan antar warga negara,
hubungan individu (warga negara) dengan (government)
atau pemerintahan,hak dan kewajiban sebagai warga negara dari sebuah negara,
hokum demokrasi dan partisipasi warga
negara dalam kehidupan bernegara, serta membangun kesipan warga negara menjadi
warga dunia;
f. Pendidikan
kewarganegaraan bersifat universal dan tidak hanya dalam konteks school civics (pendidikan
kewarganegaraan, tetapi juga dalam kontes community
civicsi (pendidikan kewarganegaraan). Dengan demikian pendidikan
kewarganegaraan penyelenggaraanya harus dilakukan melului jalur formal, non
formal maupun informal;
g. Esensi
pendidikan kewarganegaraan antara lain meliputi 1) pendidikan demokrasi, 2)
pendidikan politik, 3) kebudayaan kewarganegaraan, 4) pendidikan
kewarganegaaran dan bela negara sebagai bagian dari sistem pertahanan negara,
5) pendidikan wawasan kebangsaan, 6) pendidikan ketahanan bangsa;
h. Hakikat
pendidikan kewarganegaraan adalah upaya sadar dan terencana untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa bagi warga negara
dengan menubuhkan jati diri dan moral
bangsa sebagai landasan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam bela negara, demi
kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara dan kejaayan bangsa;
i.
Tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah mewujudkan warga negara yang cinta tanah air berdasarkan kesadaran hak dan
kewajiban dalam bela negara dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia
seluruhnya yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
j.
Penyelenggaraan pendidikan
kewarganegaraan dilakukan secara nasional, baik oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat;
k. Pelaksanaan
pendidikan kewarganegaraan dapat berlangsung dalam berbagai lingkungan dan
jenjang pendidikan yang mencakup; a). pendidikan formal di taman kanak-kanak
atau sekolah dasar, sampai pada perguruan tinggi baik dalam mata pelajaran
tersendiri maupun terintegrasi. b). pendidikan dilingkungan lembaga keagamaan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, c). pendidikan non
formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan
yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan atau pelengkap pendidikan formal
dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat, d). pendidikan kedinasan
yang diselenggrakan oleh departemen maupun lembaga pemerintah non departemen
termasuk BUMN pada rekruitmen pegawai baru maupun pada saat terjadi perubahan
golongan disetiap jenjangnya, e). pendidikan dilingkungan swasta;
l.
Keikutsertaan warga negara dalam
pendidikan kewarganegaraan merupakan salah satu wujud dari hak dan kewajiban
dalam bela negara, oleh karena itu masyarakat memiliki hak dan kewajiban dalam
penyelenggaraan pendidikan kewarganegaraan. Hal ini sangat penting, karena
pendidikan kewarganegaraan tidka hanya dilingkungan sekolah samapai dengan
perguruan tinggi tetapi mencakup lingkungan yang lebih luas.
Penjelasan
dari draf peraturan perundang-undangan diatas dan acuan penjelasan ahli diatas
maka sesungguhnya Pendidikan kewarganegaraan memiliki peran yang sangat penting
dalam pengembangan kesadaran
nasionalisme sebagaimana tertuang
secara jelas pada poin-poin draf di atas. Selain peran pendidikan
kewarganegaraan dalam mengembangkan nasionalisme juga berdasarkan penjelasan
ditas maka dapat dipahami bahwa pendidikan kewarganegaraan bukan hanya
berlangsung dalam lingkup pendidikan formal dan persekolahan tetapi juga
jangkauan yang lebih luas mencakup masyarakat dan community civics.
Menurut Aziz Wahab dan Sapriya (2011: 331) Salah satu tujuan
dari PKn adalah untuk membentuk warga
negara yang baik (to be good citizens).
Perihal warga Negara yang baik Numan Somantri 2001 memberikan deskripsi bahwa
warga Negara yang baik adalah warga negara yang patriotik, toleran, setia
terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis dan memilki jiwa Pancasilais
Sejati. Selanjutnya menurut Branson (Winarno, 2013:68) mengungkapkan
bahwa:
“What
are essential components of a good
civic ? there are three essential components:civcic knowuladge, civic skills
and civic dispositions. The first essential component of civic education is
civic knowledge that concerned with the content or what citizens ought to know;
the subject matter, if you will. The second essential component of civic
education in a democratic society is civic skill: intellectual and
participatory skill. The third essential component civic education , civic
disposition refers to the traits of private and public character essential to
the maintenance and improvement of constitusional democracy” (Branson 1998)
Dari
kutipan di atas menjadi jelas bahwa kompenen dalam pendidikan kewarganegaraan
mencakup civic knowledge yang berkaitaan dengan kandungan isi yang
harus diketahui warga negara dan kompenen kedua adalah mengenai keterampilan
atau kecakapan warga negara (civic skills) yang berhubungan dengan
kemampuan warga negara dalam mempraktikan hak dan kewajibanya sebagai warga
Negara yang baik sedangkan komponen yang
ketiga adalah (civic disposition) atau biasa disebut watak warga negara.
Sebagai komponen dasar ketiga civic education watak warga Negara menunjuk pada karater
publik dan privat yang sangat penting
bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional.
Kecakapan
kewarganegaraan itu sendiri diperoleh dan berkembang dari yang telah
dipelajari dan dialami oleh seseorang
dirumah, sekolah, komunitas dan organisasi civic
society. Adapun yang masuk karakter
privat yaitu mencakup tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan
harkat dan martabat manusia dari setiap individu adalah wajib. Sedangkan
karakter publik yang juga penting yaitu
mencakup kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berfikir kritis dan
kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi sebagai suatu karakter
yang sangat penting agar demokrasi berjalan dengan sukses.
Watak
kewarganegaraan atau civic disposition adalah merupakan salah satu unsur
dari civic virtue. Hal ini
dijelaskan oleh Quigley dkk (Winataputra 2012:58) bahwa civic virtue merupakan
domain psikososial individu yang secara substantife memiliki dua unsur
yaitu civic dispositions dan civic commitments. Civic dispositions itu
sendiri dijelaskan oleh Quigley
(Winataputra 2012:58-59) bahwa adalah merupakan sikap dan kebiasaan
berfikir warga negara yang menopang
berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan umum dan prinsip
demokrasi.
Secara
jelas dipertegas lagi bahwa secara konseptual
Civic dispositions meliputi sejumlah karakteristik kepribadian
yang mencakup civility atau keadaban (hormat pada orang lain dan
partisipatif dalam kehidupan bermasyarakat,
individual responsibility atau
tanggung jawab individual, self
discipline atau disiplin diri, civic- mindednes atau kepekaan terhadap
masaalah kewargaan, open mindedness
(terbuka, skeptic, mengenal ambiguitas) compromise
(prinsip konflik dan batas-batas kompromi), toleration of diversity atau
toleransi atas keberagaman, patience and
persistence atau kesadaran dan
ketaatan, compassion atau keterharuan, generosity atau kemurahan
hati, and loyality to the nation and its
principles atau kesetian pada bangsa dan aturanya.Quigley, dkk (Winataputra
2012:59).
Dari
semua aspek karakteristik di atas yang mencakup penghormatan dan interaksi
manusiawi, tanggung jawab individual, disiplin diri, kepedulian terhadap
masyarakat, keterbukaan pikiran yang
mencakup keterbukaan, skeptisisme,pengenalan terhadap kemajemukan, sikap kopromi, toleransi pada
keberagaman, kesabaran dan keajekan, keharuan, kemurahan hati, dan kesetian
terhadap bangsa dan segala prinsipnya
dijelaskan lebih jauh sebagai
karakter intrinsik dari warga negara. Sedangkaan civic komitments yang juga merupakan watak warga negara adalah merupakan kesediaan warga negara yang untuk
mengikatkan diri dengan sadar kepada ide dan prinsip serta nilai fundamental
demokrasi konstitusional.
Penjelasan-penjelasan diatas
menjadi jelas bahwa nasionalisme adalah merupakan bahagian dari civic disposition, civic comitments maupun
civic skill dan civic knowledge sehingga dengan demikian maka nasionalisme dalam
pradigma PKn adalah merupakan bagian dari substansi PKn itu sendiri dalam aspek
civic
disposition atau watak warga
negara sebagai perwujudan dari warga negara yang baik.
3.
Metode
Penelitian
Penelitian tentang pandagan elit Hizbut Tahrir
Indonesia dalam konsepsi pemikiran elit
Hzbut Tahrir Indonesia terhadap rasa nasionalisme ini menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif, dengan pendekatan kualitatif maka diharaapkan dapat memberikan
rincian yang lebih kompleks tentang fenomena social dari pergerakan Hizbut
Tahrir Indonesia yang akan sulit apabila menggunakan pendekatan dan metode
kuantitatif. Creswell (2010:4) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai
berikut: Metode-metode
untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau
sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses
penelitian ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan
pernyataan-pernyataan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik
dari data partisipan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema
yang khusus ke tema-tema umum, dan menafsirkan makna data. laporan akhir untuk
penelitian ini memiliki struktur atau kerangka yang fleksibel.Siapapun yang
terlibat dalam bentuk penelitian ini harus menerapkan cara pandang penelitian
yang bergaya induktif, berfokus terhadap makna individual, dan menerjemahkan
kompleksitas suatu persoalan. Sedangkan metode yang digunakan yaitu (case study) yang
menurut Bogdan & Biklen (1982) mengatakan
“ A case study a detailed
examination of one setting or one single
subject or one single
depository of document or one particular
event. studi kasus (case study)digunakan peneliti dengan pertimbangan
penulis menggunakan studi kasus adalah dalam penelitian ini akan dilakukan
dalam setting yang sempit dan hanya mengacu pada kasus
khusnya pergerakan Hizbut Tahrir di Kendari dan pandangan elitnya terhadap
kesadaran nasionalisme. Adapun informan-informan kunci yang dijadikan responden
dalam penelitian ini yaitu Ketua DPD I HTI Sulawesi Tenggara, Ketua DPD II HTI
Kota Kendari, Humas HTI DPD I Sulawesi Tenggara, Pengurus Mahaliyah dan Aktivis
Dakwah HTI serta ketua Gema Pembebasan Sulawesi Tenggara
4.
Hasil dan Pembahasan
4.1 Pandangan Elit Politik
Hizbut Tahrir Indonesia Terhadap Kesadaran Nasionalisme
Kesadaran
nasionalisme dalam abad 21 menjadi sangat penting untuk semakin dikaji karena
karena suatu negara dengan adanya kesadaran nasionalisme dari masyarakatnya
akan tetap mampu mempertahankan eksistensinya agar tidak terjadi disintegrasi.
Selain itu dengan adanya kesadaran nasionalisme masyarakat dalam suatu negara
dapat mengantarkan negaranya mampu bersaing atau kompetitif dalam percaturan
global baik secara politik, ekonomi, budaya, sosial dan keamanan. Oleh karena
itu kesadaran nasionalisme oleh setiap individu dalam lapisan masyarakat harus
ditanamkan sejak dini. Meskipun demikian Berdasarkan
hasil wawancara penulis dalam menggali dan memperoleh data dan informasi
tentang pandangan elit politik Hizbut Tahrir Indonesia dalam pandanganya
mengenai kesadaran nasionalisme dapat ketahui bahwa Hizbut Tahrir Indonesia
tidak setuju dengan paham nasionalisme dan pentingya kesadaran nasionalisme.
Hal ini dapat diindikasikan dengan beberapa tanggapan dari beberapa responden
yang diwawancarai bahwa Hizbut Tahrir Indonesia menolak nasionalisme
karena beberapa alasan menurut
analisis bahwa Hizbut Tahrir Indonesia menolak
nasionalime yaitu sebagai berikut:
1) Bahwa
nasionalisme adalah bahagian paham yang lahir dari sistem demokrasi dan paham
liberalisme di eropa sehingga sebagai kelompok organisasi islam yang paling
konsisten dengan keinginan mewujudkan sistem pemerintahan khilafah menjadi
mustahil untuk menerima paham nasionalisme karena akan terjadi benturan
ideologis.
2) Hizbut
tahrir memandang dan menyadari bahwa nasionalisme adalah sebuah paham yang
berorientasi pada pertarungan pemikiran
atau ghozaul fikra terhadap upaya barat dalam menjaga eksistensi
dan kendali terhadap negeri-negeri muslim agar tidak bersatu dalam satu
kesatuan dalam konsep word state yaitu pemerintahan khilafah.
3) Hizbut
tahrir memandang bahwa Nasionalisme secara fitrah adalah merupakan ikatan yang sangat lemah yang mana ikatan itu muncul karena atas dasar
naluri mempertahankan diri berupa membebaskan diri dari penjajahan karena
perasaaan senasib, memiliki tujuan yang sama dan wilayah territorial yang sama.
4) Nasionalisme
dalam pandangan Hizbut Tahrir tidak akan dapat mengantarkan pada kebangkitan
dan kejayaan peradaban islam dan umatnya
karena setiap negeri akan mengurus negerinya sendiri dan tidak akan memikirkan
urusan umat islam di negeri lain.
5) Adanya
hujjah atau landasan-landasan dalil yang dillarang terhadap nasionalisme dalam
pandangan islam sebagaimana diuraikan sebelumnya.
Selanjutnya
selain dari faktor- faktor yang menyebabkan ketidaksepahaman dari Hizbut Tahrir
sebagaimana dalam diuraikan diatas. Maka dalam analisis penulis memandang
bahwa memang disisi lain dapat disadari salah satu kontribusi
nasionalisme adalah merupakan satu pokok pikiran yang merubah
dunia seperti yang diungkapkan oleh Barbara Ward 1983, bahwa nasionalisme
telah mengubah struktur pemerintahan dan negara yang ada di dunia dari sistem
imperium di dunia Barat dan khilafah di dunia Islam menjadi sistem nation
- state. Munculnya nation-state di dunia Islam dalam pandangan Hizbut Tahrir merupakan hasil
rekayasa negara-negara
barat yang berusaha menjajah,
menguasai dan mengeruk kekayaan di dunia islam.
Ketika melakukan penjajahan secara fisik dianggap sudah tidak modern, maka penjajahan secara non-fisik pun dijalankan. Penjajahan non- fisik dengan melakukan
penguasaan aset- asset suatu wilayah di bekas wilayah
peradaban Islam yang semakin mudah ditempuh ketika wilayah
tersebut dilanda perpecahan menjadi negara yang berjumlah
lebih dari lima puluh ditambah lagi konflik-konflik internal dalam suatu Negara.
Berdasarkan uraian di atas maka
penulis memiliki pandangan dan analisis bahwa nasionalisme patut direnungkan
kembali kesesuaiannya sebagai unsur pembangkit khususnya di
negeri- negeri Muslim. Hal ini disebabkan dunia
Barat dan islam mempunyai standar yang
khas yang berbeda dalam mengukur sesuatu. Standar
Barat yang lekat dengan sekulerisme adalah ketika hal tersebut bermanfaat diambil, ketika dianggap dan ketika tidak bermanfaat tidak
diambil sehingga sangat mudah terjadi relativitas,
kebingungan dan dapat menciptakan konflik baru
karena relativitas tadi, pendapat
masing- masing orang dapat berbeda. Lebih
jauh jika ditelaah maka sistem
nasionalisme dan nation- state dalam dunia barat pun dianggap
sudah tidak terlalu
relevan lagi terbukti dengan adanya Uni Eropa yang berbentuk region- state. Kondisi dan Realitas ini dapat
dipertegas dengan pendapat Kenichi Ohmae (M.Kholid Syeranzi
2003) dalam karyanya “The End of Nation
State” pun mengemukakan bahwa yang berkuasa di era globalisasi
saat ini adalah bukan nasionalisme dan negara bangsa melainkan
pasar modal, karena sistem internasional yang dominan bercorak neoliberal. Sementara
kaum muslimin sejak dulu telah diminta untuk tidak bercerai-berai dan selalu berada
dalam ikatan akidah Islam bukan nasionalisme. Kelompok atau partai boleh
berbeda namanya tetapi asas, landasan dan apa yang diperjuangkan seharusnya
selaras dengan akidah Islam dan visi misi rahmatal lil alamin.
4.2 Dampak Pergerakan Hizbut Tahrir Indonesia Terhadap Kesadaran Nasionalisme
Metode
pengkaderan dan pembinaan serta metode thalabun nusroh membuat perkembangan Hizbut Tahrir menjadi sangat
pesat hampir disetiap kota-kota besar di Indonesia dari berbagai kalangan. Kelompok yang menjadi sasaran utama bagi perekrutan adalah profesional dan mahasiswa. Hizbut
Tahrir Indonesia menyadari betul tentang perubahan yang dilakukan oleh
mahasiswa, maka tidak mengherankan bahwa perkembangan awal Hizbut Tahrir di
Indonesia adalah diawali dengan pergerkaan mahasiswa dikampus-kampus atau
universitas-universitas besar seperti IPB, UGM, UNPAD, UI dan Universitas
lainya di Indonesia. Perkembangan dan pergerakan Hizbut Tahrir
dikalangan mahasiswa semakin mengalami
perkembangan signifikan. Kelompok mahasiswa yang telah bergabung dan menjadi
kader-kader pergerakan Hizbut Tahrir berusaha memanfaatkan lembaga-lembaga semi
otonom dalam kampus seperti MPM (Majelis Pencita Mushala), LDK (Lembaga Dakwah
Kampus), Gema Pembebasan. Dengan demikian maka yang Hizbut Tahrir sangat
menfokuskan golongan-golongan terpelajar agar menjadi kader-kader aktivisnya
untuk memperjuangkan ide pemikiran khilafah. Selain kelompok terpelajar kelompok lain yang penting yang
ditargetkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia
adalah perempuan Muslim. Dalam upaya
mereka untuk mendidik massa dan aktivis merekrut, Hizbut Tahrir
Indonesia juga memanfaatkan organisasi
formal dalam banyak kasus,
Mobilisasi
sumber daya merupakan langkah yang paling penting dalam strategi Hizbut Tahrir
Indonesia untuk memperoleh dukungan
tentang konsep pemikiran yang dijadikan dasar dalam pergerakanya yaitu konsep
khilafah. Maka untuk dapat menjangkau lebih luas kepada masyarakat dalam upaya untuk mengubah pola
pikir umat Islam tentang pentinya dan kewajiban tentang pendirian khilafah
sebagai pemerintahan islam, maka Hizbut
Tahrir Indonesia menggunakan media, dengan
cara publikasi, Hizbut Tahrir menghasilkan pamflet mingguan yang
dikenal dengan buletin Al-Islam. Hizbut
Tahrir juga menerbitkan
sebuah jurnal bulanan yang disebut
Al-Wai'e. jurnal Al-Wai'e pertama kali diterbitkan pada tahun 2000 tepat
sebelum konferensi Khilafah tahun 2000 dan diluncurkan pada saat konferense. Al-Wai'e memiliki konten yang lebih intelektual, Jurnal
ini terstruktur dan sering termasuk beberapa kolom seperti Analisis Utama (Main
Analisis), Muhasabah (Refleksi), Fokus Utama (Fokus Utama), Wawancara Khusus. Selain pamflet dan jurnal
yang digunakan Hizbut Tahrir dalam mengemas media sebagai tempat
menyebarluaskan pemahaman tentang konsep pergeraknya Hizbut Tahrir juga sering
menggunakan video untuk menyebarkan pesan mereka. Mereka mempekerjakan tim
profesional terlatih dengan menggunakan operator atau kru video untuk merekam
setiap kegiatan yang mereka lakukan. Maka dengan demikian pergerakan yang dilakukan Hizbut Tahrir Indonesia dalam
menyebarkan pemahamanya sangat masif terhadap berbagai kalangan masyarakat oleh
karena itu sangat memungkinkan dapat mempengaruhi masyarkat dari pemahamn dan
pemikiran yang disampaikan termasuk mengenai nasionalisme.
Berdasarkan
penjelasan diatas maka menurut analisis penulis langkah yang tepat untuk
menyelesaikan persoalan dari dampak pergerakan Hizbut Tahrir yang menolak
nasionalisme yaitu selain mempersempit
ruang gerakan dari pergerakan Hizbut tahrir
juga adalah melibatkan dunia pendidikan yang bukan hanya pada lingkup
formal tetapi juga non formal dan masyarakat. Meskipun demikian kondisi
dan realitas pergerakan yang dilakukan Hizbut Tahrir Indonesia dalam
mempropagandakan ide-idenya sangat berbanding terbalik dengan peran yang
dilakukan lembaga pendidikan khususnya
Pendidikan Kewarganegaraan dalam menumbuhkembangkan semangat nasionalisme.
Kesimpulan
Berdasarkan
sejumlah temuan penelitian yang telah diuraikan di atas maka peneliti
mendapatkan beberapa kesipmulan dari penelitian ini. Adapun kesimpulan yang pertama bahwa penelitian ini memberikan
gambaran bahwa Hizbut Tahrir Indonesia adalah salah satu organsiasi yang
menolak tentang pentingnya kesadaran nasionalisme. Hizbut Tahrir Indonesia
menolak nasionalisme dengan beberapa alasan diantaranya 1) nasionalisme adalah
sebuah ikatan yang lemah, 2) nasionalisme bukan paham pemikiran dari islam, 3)
nasionalisme membuat umat islam terpecah-belah menjadi negara-negara kecil dan menjadi lemah, 4), nasionalisme
bertentangan dengan pemikiran islam. Pergerkan Hizbut Tahrir Indonesia bukanlah ancaman langsung kepada pemerintah
Indonesia dan nasionalisme karena menggunakan posisi politik non-kekerasan,
tetapi visi menghidupkan kembali kekhalifahan islam adalah bertentangan
langsung dengan ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila sehingga dalam waktu yang panjang ada kemungkinan Hizbut Tahrir Indonesia akan meningkatkan pengaruhnya terhadap menurunya
semangat nasionalisme dimasa depan sesuai dengan strategi mobilisasinya, tetapi
akan butuh beberapa tahun lagi sebelum menjadi ancaman serius nasionalisme bagi negara Indonesia.
Daftar Pustaka
Antarikasa,Yani.2010.Gerakan-Hizbut-Tahrir-Indonesia-Strategi-Mobilisasi-Dan-Dampaknya.
Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Pusat Pengkajian strategis. https://id.scribd.com/doc/81790325/Mabes-TNI-Gerakan-Hizbut-Tahrir-Indonesia-Strategi-Mobilisasi-Dan-Dampaknya
Aziz, Abdul Wahab., dan Sapriya. (2011). Teori dan Landasan Pendidikan
Kewarganegaraan. Bandung: Alpabeta..
Bogdan,R.C. dan Biklen,S.K. (1982). Qualitative Research for
Education Introduction in Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.Inc Cipta.
Creswell, J. W. (2010).
Research Desaign (pendekatan kualitatif,
kuantitatif, dan mixed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dewi, I.M. (2008). Nasionalisme dan
Kebangkitan dalam Teropong. Jurnal Mozaik, 3 (3), hlm. 13-32.
Kohn,
H. 1971. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya
(terjemahan Sumantri Mertodipura).
Mardawani. 2014. Pembinaan Semangat Nasionalisme Indonesia dalam
Menghadapi Tantangan Kosmopolitanisme
dan Etnisitas Melalui Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan . Lab PKN UPI
Muhamad, H (2000). Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi, LKIS: Jakarta
Peraturan Presiden No. 12
Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan.
Sarjono, Puspawardjo.
(1995). Pendidikan Wawasan Kebangsaan.
Jakarta:
Gramedia
Smith, Anthony D., 2003. Nasionalisme:
Teori, Ideologi, Sejarah: penerbit Erlangga. Jakarta
Soekarno 1963 dibawah
bendera revolusi. jakarta: Panitya
Penerbit dibawah Bendera revolusi
Suhatno
dkk, 1995.
Tokoh-Tokoh
Pemikir Paham Kebangsaan: Haji Agus Salim dan Muhammad Husni Thamrin, CV.
Dwi Jaya Karya: Jakarta
Syeranzi,
M.Kholid. 2003. Dilemma
Paraktis Globalisme Neoliberal. Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 7 nomor1 juli 2013 https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/11076/8317
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:
Sinar Grafika.
Ward, 1983 Barbara, Terj. Lima Pokok Pikiran yang mengubah Dunia, Jakarta:
Pustaka Jaya,
Winarno.2013. Pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan; Isi,
Strategi dan Penilaian. Bumi Aksara
Winataputra, U. & Budimansyah, D. (2012).Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif
Internasional.Bandung: Widya Aksara Press.
Winataputra,
Udin S. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Prespektif
Pendidikan Untuk mencerdaskan Kehidupan Bangsa; Gagasan, Instrumental dan Praksis.Widya
Aksara Press: Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar