Selasa, 30 Januari 2018

The Elite Thought Conception of Hisbut Tahrir Indonesia Against Nationalism Awareness ( A Case Study In Kendari City

Abstract
The Elite Thought Conception of Hisbut Tahrir Indonesia Against Nationalism Awareness ( A Case Study In Kendari City)
Hasbullah
Hasbullahkabasan1@gmail.com

This research is based on the reality of the pluralistic Indonesian society consisting of thousands of islands. The pluralistic Indonesian society are not only being a blessing but also become a challenge of the existence of the Unitary State of the Republic of Indonesia.  This condition is increasingly worried because of the increasing influence of transnational organizations which one of them is Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) who want to realize the concept of caliphate state. Therefore, the researcher intended to see and describe the views of the elite group of Hizbut Tahrir to the awareness of nationalism as an effort to maintain the Unitary Republic of Indonesia. In this present study, the researcher employed a qualitative approach and a case study as the research method. The process of collecting data through observation, interviews, documentary studies, and literature studies. Then, the researcher used the stages of data analysis in the form of data collection, data presentation, data reduction, and data verification/conclusion. The results of research on the elite view of Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) toward the nationalism awareness found that Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) strongly rejected the concept and consciousness of nationalism because it is considered a weak bond and weakens the Islamic ummah. It makes Islam divided into small countries which is easy to master and bring into conflict.The guidance is done to the community or the ummah is by using the method or tariqah da'wah as Prophet Muhammad SAW did by forming a group of da'wah through halaqah who are ready to fight for Islam in realizing an Islamic government with the concept of caliphate. While the impact of the movement of Hizbut Tahrir Indonesia to nationalism awareness is every cadre of activists and sympathizers are not expected to make awareness and the concept of nationalism as important because the concept and nationalism awareness can weaken the Islamic ummah. The implications for education and Civics are to be concerned that fostering national consciousness is not only in the formal scope but also must be maximized in non-formal scope of social environment in fostering nationalism awareness by synergizing with islamic boarding schools, organizations of Nahdatul Ulama and Muhamadiyah in developing awareness of nationalism in formal educational institutions and education in the cultural social scope that has not been optimal in realizing nationalism awareness.

Keywords: Hizbut Tahrir Indonesia, Community Development, Nationalism Awareness

1.      Pendahuluan
Indonesia dikenal  sebagai sebuah bangsa yang besar yang terdiri dari beribu-ribu  pulau dari Sabang sampai ujung Merauke. Realitas ini menuntut  seluruh masyarakat Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk tetap menjadi bangsa yang satu dengan tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemerdekaan bangsa Indonesia yang telah didapatkan 71 tahun sejak proklamasi dikumandangkan adalah merupakan  hasil dari para perjuangan para dan pahlawan untuk bangsa ini. Para pejuang dan pendiri bangsa tidak saja hanya melepaskan bangsa ini dari penjajahan melainkan mereka menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar yang menyatukan berbagai latar belakang etnis,agama, suku, budaya,ras menjadi satu kesatuan di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keberagaman dan luasnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah selain sebagai berkah juga disisi lain sebagai sebuah tantangan dan acaman akan tetap terjaganya kesatuan dan  keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dimasa yang akan datang. Masa kontemporer di abad ini  ancaman mengenai disintegrasi yaitu sebuah keinginan untuk memisahkan diri dan menjadi sebuah negara sendiri hampir terjadi disetiap belahan dunia. Hal ini semakin mempertegas bahwa ancaman disintegrasi adalah sebuah tantangan serius yang harus dihadapai  dengan serius oleh setiap bangsa dan negara termasuk Indonesia.
Sebagai salah satu upaya dalam rangka mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah menanamkan rasa dan kesadaran nasionalisme melalui pendidikan.  Pendidikan yang dimaksudkan bukan saja hanya  pendidikan yang mencakup  pendidikan formal tetapi juga  pendidikan secara umum termasuk  pendidikan dalam dimensi sosial kultural sebagaiamana diungkapkan (Winataputra, 2012).Sebagai salah satu program pendidikan menurut winataputra menjelaskan salah satu domain sosio kultural dengan istilah comuniti civic education merupakan dimensi  sosial kultural dalam pengembangan smart and good citizens  untuk pembelajaran yang sangat luas dan beragam, substransi dan proses pendidikanya bersifat contextually customized, fleksible, less structured, enculturation oriented. Di dalam masyrakat biasa disebut community civic education yang dapat dikembangkan untuk berbagai komunitas masyarakat bangsa dan Negara.misalnya untuk pejabat Negara dan birokrat (administrasion civic education) politisi (Political education)  akademisi (professional civic education) praktisi/teknisi wartawan  (practitioner civic education). Pejabat pada pemerintah daerah ,kelompok masyarakat (popular civic education (winataputra, 2012:257:258)
Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa  pada dasarnya pendidikan secara umum tidak hanya pendidikan secara formal tetapi juga pendidikan dalam lingkup sosial kultural. Namun demikian dalam konteks pendidikan secara sosial kultur belum berjalan secara optimal dalam mewujudkan semangat kesadaran nasionalime. Realitas ini tentu bertolak belakang dengan lahirnya organisasi-organisasi besar yang bersifat transnasional yang sebagian memungkinkan akan turut mempengaruhi kesadaran nasionalisme warga negara Indonesia yang salah satunya yaitu Hizbut Tahrir Indonesia  yang mengusung konsep word state bukan national state. Maka oleh karena itu melalui penelitian ini akan dapat menggambarkan pandangan elit Hizbut Tahrir Indonesia terhadap kesadaran nasionalisme.
2.      Tinjauan Teoritis

2.1  Konsep Nasionalisme
Nasionalisme adalah sebuah keniscayaan dalam berdirinya sebuah bangsa menuju sebuah peradaban. Menurut Smith (2003: 11) nasionalisme adalah suatu gerakan ideologis uantuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan dan identitas bagi suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa  yang actual atau bangsa yang potensial. Pandangan yang berbeda dijelaskan oleh Sarjono Powespardojo (2010:116) yaitu nasionalisme adalah paham kebangsaan yang menyatakan loyalitas tertinggi terhadap masalah- masalah  duniawi dari setiap Negara yang ditujuakan terhadap bangsanya. Husen Muhamad (2000:45) menentukan kriteria nasionalisme yang dijadikan dasar kewarganegaran yang mencakup kulture, etnistas, bahasa dan wilayah. Sejalan dengan pandang di atas Kalidjernih, F.K (2010:116) menjelaskan bahwa konsep nasionalisme adalah menitiberatkan pada konsep ideologi yang menekankan bangsa sebagai prinsip sentral dan organisasi politik dengan berbagai cita-cita dan tujuan nasionalnya.
Definisi diatas  mempertegas bahwa bangsa atau pun Negara dengan memposisikan cita-cita dan tujuan yang menyatu dalam falsafah dan perjalanan  bangsa tersebut selalu berhubungan dengan adanya kesetiaan warga Negara kepada bangsanya yang dapat dipahami sebgai suatu kondisi yang harus berada di atas kepentingan pribadi ataupun golongan. Sedangkan menurut O’Leary, B (1997) Nasionalism implies that loyality to the nation should be the first virtue of a citizen, loyality to the nationalcomunity should, in general, transcend layality to more particularidentification, personal, cultural, economic, or political; and members of other nations.  Dari kutipan pernyataan tersebut menjadi jelas bahwa nasionalisme menekankan pada kesetian kepada bangsa merupakan hal yang harus diutamakan sebagai warga Negara. Kesetian kepada bangsa tersebut secara umum melampaui kesetiaan kepada hal- hal yang bersifat pribadi, baik dalam hal budaya, ekonomi atau politik dan warga Negara yang memiliki jiwa nasionalisme akan mengklaim memiliki moral yang lebih tinggi dari bangsa lain. Oleh kerena itu maka   Hans Kohn (1971:9) berpendapat bahwa esensi nasionalisme adalah sama, yaitu ‘a state of mind, in which the supreme loyality of the individual is felt to be due the nation state’ maksudnya adalah sikap mental  yang mana kesetian tertinggi dirasakan sudah selayaknya diserahkan kepada bangsa dan Negara

Mempertegas pendapat di atas mengutip pandngan  Ita Mutiara dalam mendeskripsikan tentang nasionalisme secara konseptual memiliki makna yang beragam. Ada yang mengartikan nasionalisme sebagai (1) kulturnation dan staatnation; (2) loyalitas (etnis dan nasional) dan keinginan menegakkan negara; (3) identitas budaya dan bahasa, dan sebagainya. Berikut ini adalah paparan dari beberapa definisi nasionalisme:
1)      Nasionalisme sebagai suatu bentuk pemikiran dan cara pandang yang menganggap bangsa sebagai bentuk organisasi politik yang ideal. Suatu kelompok manusia dapat disatukan menjadi bangsa karena unsur-unsur pengalaman sejarah yang sama, dalam arti pengalaman penderitaan atau kejayaan bersama.
2)      Nasionalisme adalah suatu identitas kelompok kolektif yang secara emosional mengikat banyak orang menjadi satu bangsa. Bangsa menjadi sumber rujukan dan ketaatan tertinggi bagi setiap individu sekaligus identitas nasional.
3)      Nasionalisme pada dasarnya adalah prinsip politik yang memegang kuat bahwa unit politik dan nasional seharusnya kongruen. Nasionalisme dapat berbentuk sentimen maupun gerakan. Sentimen nasionalisme adalah perasaan marah yang muncul karena pelanggaran prinsip atau perasaan puas akibat pemenuhan suatu prinsip. Sedangkan gerakan nasionalis adalah sesuatu hal yang ditunjukkan oleh sentimen perasaan itu (Dewi ita Mutiara, 2008).
Pendapat di atas memberikan pemahaman bahwa nasionalisme merupakan salah satu unsur dalam pembinaan kebangsaan atau nation building. Proses pembinaan kebangsaan semua anggota masyarakat bangsa dibentuk agar berwawasan kebangsaan serta berpola tata laku secara khas yang mencerminkan budaya maupun ideologi bangsa. Hal ini dapat dilakukan melalui lembaga pendidikan baik formal maupun non formal (sosial kultur). secara khusus  salah satu mata pelajaran atau mata kuliah yang memiliki tanggung jawab secara yuridis untuk mengembangkan kesadaran nasionalisme yaitu pendidikan pancasila dan kewarganearaan yang Secara yuridis mengenai nasionalisme dapat  diliahat dalam penjelasan Pasal 77J ayat 1 huruf B Peraturan Pemerintah Republik Indonesia  No 32 Tahun 2013 Tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan bahwa “Pendidikan kewarganegraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik  menjadi manusia yang memilki rasa kebangsaan, cinta tanah air, dalam konteks nilai dan moral Pancasila, kesadaran berkonstitusi Undang- Undang Dasar Republik Indonesian 1945, nilai dan semangat Bhineka tunggal ika, serta komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu bagi masyarakat Indonesia yang plural dan heterogen harus  lebih mengedepankan wawasan kebangsaan dan semangat kebangsaan atau nasionalisme dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia itu sendiri.
Nasionalisme yang menjadi kekuatan bangsa Indonesia adalah nasionalisme yang berpondasi berdasarkan Pancasila. Artinya, nasionalisme tersebut bersenyawa dengan sila-sila Pancasila, diantaranya apa yang disebut oleh Bung Karno sebagai Socio-Nationalism. Nasionalisme yang demikian menghendaki penghargaan, penghormatan, dan toleransi dalam kerangka persatuan nasional (Soekarno 1963 ). Maka dapat dikatakan bahwa nasionalisme bangsa Indonesia berbeda dengan nasionalisme yang dianut oleh negara-negara yang individualis. Semangat nasionalisme Indonesia dan negara-negara Asia pada umumnya adalah nasionalisme yang muncul sebagai reaksi terhadap penindasan penjajahan kolonial.  Sementara pendapat lain tentang nasionalisme dari sudut pandang cendekiawan muslim dapat dilihat pandangan nasionalisme dalam pemikiran haji Agus Salim (Suhartno 1995) bahwa nasionalisme yang dimaksud adalah bukan  nasionalisme dalam arti yang semata-mata berpatokan pada bangsa dalam arti  yang sempit dan bukan pula golongan orang tertentu melainkan nasionalisme  yang didalamnya mengandung asas persamaan yang menjadi dasar  persaudaraan. Selain untuk kesejahteraan dan keselamatan didalam dirinya juga mengandung perasaan kemanusiaan, persaudaraan dan persamaan bangsa-bangsa yang tidak mengangkat kebangsaan sebagai berhala yaitu  tempat menyembah, maksudnya yaitu pengagungan kebangsaan yang  tidak berlebih-lebihan dan yang tidak membahayakan rakyat, seperti yang ada di Eropa Barat sampai meninggalkan Tuhan sama sekali.
Konsep diatas sejalan dengan krakteristik nasionalisme bangsa Indonesia yang dijelaskan Mardawani (2014:196)  mengenai ciri-ciri nasionalisme Indonesia, yakni sebagai berikut:
a)    Nasionalime kerakyatan atau persatuan yang anti penjajahan. Kemerdekaan yang dirumuskan bangsa Indonesia adalah pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia , dan bukan pernyataan kemerdekaan perseorangan.
b)   Nasionalime kerakyatan/persatuan yang patriotik, yang religius. Nasionalisme Indonesia lahir dari perjuangan gerakan kemerdekaan Indonesia dan bersumber dari Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan keinginan luhur untuk membentuk kehidupan kebangsaan yang bebas.
c)    Nasionalime kerakyatan/persatuan yang berdasarkan Pancasila. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang bersendikan kedaulatan rakyat yang berdasarkan Pancasila, yang dalam pelaksanaanya bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut menciptakan perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan sosial.
            Nasionalisme  bangsa dalam konteks yang dijelaskan di atas adalah bentuk nasionalisme yang berlaku pada masa-masa pergerakan nasional dalam mewujudkan dan mempertahankan  Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan nasionalisme  dalam konteks pasca reformasi sampai sekarang lebih berfokus pada persatuan dan pencegahan dari disintegrasi bangsa Indonesia.

2.2    Paradigma PKn terhadap Nasionalisme

Nasionalisme  Indonesia, tidak bisa disamakan dengan nasionalisme Barat, karena nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang bersenyawa dengan keadilan sosial, anti kolonialisme, yang oleh Bung Karno disebut socio-nasionalism. Nasionalisme yang demikian adalah nasionalisme yang menghendaki penghargaan, penghormatan, toleransi kepada bangsa atau suku-bangsa lain. Dalam konteks Indonesia, pengalaman penderitaan bersama sebagai kaum terjajah melahirkan semangat solidaritas sebagai satu komunitas yang mesti bangkit dan hidup menjadi bangsa merdeka. Semangat tersebut oleh para pejuang kemerdekaan dihidupkan tidak hanya dalam batas waktu tertentu, tetapi terus-menerus hingga kini dan masa mendatang. Nasionalisme Indonesia agar tetap hidup dalam masyarakat Indonesia maka perlu dilestarikan melalui lembaga pendidikan yang salah satunya melalui mata pelajaran atau mata kuliah Pkn/PPkn.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berdasarkan Undang-Undang No 3 Tahun 2002 Tentang pertahanan negara  harus dikembangkan secara konseptual komprehensif dalam suatu undang-undang sehingga dapat dijadikan arah bagi kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia. Berdasarkan pada naskah  akademik rancangan undang-undang  tentang pendidikan Kewarganegaraan, oleh Direktorat jenderal Potensi Pertahanan Departemen Pertahanan, dapat diketahui arah kebijakan pendidikan  Kewarganegaraan masa kini dan kedepan sebagai berikut (winarno, 2009):
a.        Pendidikan kewarganegaraan dimaksudakan untuk menumbuhkan kepribadian  Dwi warna yang menjadi landasan cendekiawan  warga Negara. Intinya kepribadian manusia Indonesia yang diinginkan adalah manusia Indonesia yang cerdas dan berpegang teguh pada nilai-nilai kepribadian bangsa. Dengan kepribadian dwi warna yang cendekia, kehidupan berbangsa dan bernegara berkembang dan nuasa saling memahami hak dan kewajiban antara penyelenggara Negara dengan warga Negara, dan warga Negara sebagai bagian dari masyarakat  dunia demi tercapainya cita-cita nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
b.      Pendidikan kewarganegaraan  yang menanamkan nilai-nilai cinta tanah air, moralitas, dan jiwa kebangsaan yang menjadi identitas dan karakter bangsa dalam mencapai integritas bangsa,dijadikan sebagai dasar yang kuat dan kokoh untuk mengembangkan dan membina kepribadian Dwi Warna setiap warga Negara Indonesia. Pendidikan kewarganegaraan mengembangkan nilai-nilai dan mendorong kesadaran terhadap hak dan kewajiban warga Negara serta mengimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara;
c.       Pendidikan Kewarganegaraan sudah terwadahi dalam sistem pendidikan nasional. Namun pendidikan kewarganegaraan dalam sistem pendidikan nasional hanya mengaturnya dilingkungan persokalahan (school civics), sedangkan diluar lingkungan pendidikan tidaktercakup (community civics). Adanya perangkat hukum ini maka dapat memperkuat kerangka pendidikan kewarganegaraan dalam sistem pendidikan nasional, disamping memperluas jangkauan pengaturan pendidikan kewarganegaraan bagi seluruh warga negara Indonesia;
d.      Secara umum pendidikan kewarganegaraan memiliki keterkaitan dengan hubungan antar warga negara, hubungan warga negara dengan pemerintah,  hak dan kewajiban warga negara, hokum, demokrasi dan partisipasi warga Negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta membangun kesipan warga negara menjadi warga dunia. Maka dengan demikian wajralah jika setiap negara kebangsaan yang demokratis dalam sistim pendidikanya selalu ada program pendidikan kewarganegaraan sebagai bagian dari kurikulum suatu sekolah. Hanya nama yang digunakan oleh setiap negara tentu berbeda-beda, ada yang menggunakan ‘civic education, political education, sosial studies, democracy education;
e.       Pendidikan kewarganegaraan pada intinya berkaitan dengan hubungan antar warga negara, hubungan individu (warga negara) dengan (government) atau pemerintahan,hak dan kewajiban sebagai warga negara dari sebuah negara, hokum demokrasi  dan partisipasi warga negara dalam kehidupan bernegara, serta membangun kesipan warga negara menjadi warga dunia;
f.       Pendidikan kewarganegaraan bersifat universal dan tidak hanya dalam konteks school civics (pendidikan kewarganegaraan, tetapi juga dalam kontes community civicsi (pendidikan kewarganegaraan). Dengan demikian pendidikan kewarganegaraan penyelenggaraanya harus dilakukan melului jalur formal, non formal maupun informal;
g.      Esensi pendidikan kewarganegaraan antara lain meliputi 1) pendidikan demokrasi, 2) pendidikan politik, 3) kebudayaan kewarganegaraan, 4) pendidikan kewarganegaaran dan bela negara sebagai bagian dari sistem pertahanan negara, 5) pendidikan wawasan kebangsaan, 6) pendidikan ketahanan bangsa;
h.      Hakikat pendidikan kewarganegaraan adalah upaya sadar dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara   dengan menubuhkan jati diri  dan moral bangsa sebagai landasan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam bela negara, demi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara dan kejaayan bangsa;
i.        Tujuan pendidikan kewarganegaraan  adalah mewujudkan warga negara yang  cinta tanah air berdasarkan kesadaran hak dan kewajiban dalam bela  negara dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
j.        Penyelenggaraan pendidikan kewarganegaraan dilakukan secara nasional, baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat;
k.      Pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan dapat berlangsung dalam berbagai lingkungan dan jenjang pendidikan yang mencakup; a). pendidikan formal di taman kanak-kanak atau sekolah dasar, sampai pada perguruan tinggi baik dalam mata pelajaran tersendiri maupun terintegrasi. b). pendidikan dilingkungan lembaga keagamaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, c). pendidikan non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat, d). pendidikan kedinasan yang diselenggrakan oleh departemen maupun lembaga pemerintah non departemen termasuk BUMN pada rekruitmen pegawai baru maupun pada saat terjadi perubahan golongan disetiap jenjangnya, e). pendidikan dilingkungan swasta;
l.        Keikutsertaan warga negara dalam pendidikan kewarganegaraan merupakan salah satu wujud dari hak dan kewajiban dalam bela negara, oleh karena itu masyarakat memiliki hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pendidikan kewarganegaraan. Hal ini sangat penting, karena pendidikan kewarganegaraan tidka hanya dilingkungan sekolah samapai dengan perguruan tinggi tetapi mencakup lingkungan yang lebih luas.
Penjelasan dari draf peraturan perundang-undangan diatas dan acuan penjelasan ahli diatas maka sesungguhnya Pendidikan kewarganegaraan memiliki peran yang sangat penting dalam  pengembangan kesadaran nasionalisme   sebagaimana tertuang secara jelas pada poin-poin draf di atas. Selain peran pendidikan kewarganegaraan dalam mengembangkan nasionalisme juga berdasarkan penjelasan ditas maka dapat dipahami bahwa pendidikan kewarganegaraan bukan hanya berlangsung dalam lingkup pendidikan formal dan persekolahan tetapi juga jangkauan yang lebih luas mencakup masyarakat dan community civics.

Menurut Aziz Wahab dan Sapriya (2011: 331) Salah satu tujuan dari PKn  adalah untuk membentuk warga negara yang baik (to be good citizens). Perihal warga Negara yang baik Numan Somantri 2001 memberikan deskripsi bahwa warga Negara yang baik adalah warga negara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis dan memilki jiwa Pancasilais Sejati. Selanjutnya menurut  Branson (Winarno, 2013:68) mengungkapkan bahwa:
What are essential components of a good civic ? there are three essential components:civcic knowuladge, civic skills and civic dispositions. The first essential component of civic education is civic knowledge that concerned with the content or what citizens ought to know; the subject matter, if you will. The second essential component of civic education in a democratic society is civic skill: intellectual and participatory skill. The third essential component civic education , civic disposition refers to the traits of private and public character essential to the maintenance and improvement of constitusional democracy” (Branson 1998)

Dari kutipan di atas menjadi jelas bahwa kompenen dalam pendidikan kewarganegaraan mencakup civic knowledge  yang berkaitaan dengan kandungan isi yang harus diketahui warga negara dan kompenen kedua adalah mengenai keterampilan atau kecakapan warga negara  (civic skills) yang berhubungan dengan kemampuan warga negara dalam mempraktikan hak dan kewajibanya sebagai warga Negara yang baik  sedangkan komponen yang ketiga adalah  (civic disposition) atau biasa disebut watak warga negara. Sebagai  komponen dasar ketiga civic education  watak warga Negara menunjuk pada karater publik dan  privat yang sangat penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional.
Kecakapan kewarganegaraan itu sendiri diperoleh dan berkembang dari yang telah dipelajari  dan dialami oleh seseorang dirumah, sekolah, komunitas dan organisasi civic society. Adapun  yang masuk karakter privat yaitu mencakup tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan harkat dan martabat manusia dari setiap individu adalah wajib. Sedangkan karakter  publik yang juga penting yaitu mencakup kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berfikir kritis dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi sebagai suatu karakter yang sangat penting agar demokrasi berjalan dengan sukses.
Watak kewarganegaraan atau civic disposition  adalah merupakan salah satu  unsur  dari civic virtue. Hal ini dijelaskan oleh Quigley dkk (Winataputra 2012:58) bahwa civic virtue merupakan  domain psikososial individu yang secara substantife memiliki dua unsur yaitu civic dispositions dan civic commitments. Civic dispositions  itu sendiri dijelaskan oleh  Quigley (Winataputra 2012:58-59) bahwa adalah merupakan sikap dan kebiasaan berfikir  warga negara yang menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan umum dan prinsip demokrasi.
Secara jelas dipertegas lagi bahwa secara konseptual  Civic dispositions  meliputi sejumlah karakteristik kepribadian yang mencakup civility  atau keadaban (hormat pada orang lain dan partisipatif dalam kehidupan bermasyarakat, individual responsibility  atau tanggung jawab individual, self discipline  atau disiplin diri, civic- mindednes atau kepekaan terhadap masaalah kewargaan, open mindedness (terbuka, skeptic, mengenal ambiguitas) compromise (prinsip konflik dan batas-batas kompromi), toleration of diversity  atau toleransi atas keberagaman, patience and persistence  atau kesadaran dan ketaatan, compassion  atau keterharuan, generosity  atau kemurahan hati, and loyality to the nation and its principles atau kesetian pada bangsa dan aturanya.Quigley, dkk (Winataputra 2012:59).
Dari semua aspek karakteristik di atas yang mencakup penghormatan dan interaksi manusiawi, tanggung jawab individual, disiplin diri, kepedulian terhadap masyarakat, keterbukaan pikiran yang  mencakup keterbukaan, skeptisisme,pengenalan terhadap  kemajemukan, sikap kopromi, toleransi pada keberagaman, kesabaran dan keajekan, keharuan, kemurahan hati, dan kesetian terhadap bangsa dan segala prinsipnya   dijelaskan lebih jauh  sebagai karakter intrinsik dari warga negara. Sedangkaan civic komitments yang juga merupakan watak warga negara adalah  merupakan kesediaan warga negara yang untuk mengikatkan diri dengan sadar kepada ide dan prinsip serta nilai fundamental demokrasi konstitusional. Penjelasan-penjelasan diatas menjadi jelas bahwa nasionalisme adalah merupakan bahagian dari civic disposition, civic comitments maupun civic skill dan civic knowledge sehingga dengan demikian maka nasionalisme dalam pradigma PKn adalah merupakan bagian dari substansi PKn itu sendiri dalam aspek civic  disposition  atau watak warga negara sebagai perwujudan dari warga negara yang baik.



                                                                                
3.      Metode Penelitian

Penelitian tentang pandagan elit Hizbut Tahrir Indonesia dalam konsepsi pemikiran  elit Hzbut Tahrir Indonesia terhadap rasa nasionalisme  ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, dengan pendekatan kualitatif maka diharaapkan dapat memberikan rincian yang lebih kompleks tentang fenomena social dari pergerakan Hizbut Tahrir Indonesia yang akan sulit apabila menggunakan pendekatan dan metode kuantitatif. Creswell (2010:4) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai berikut: Metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pernyataan-pernyataan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari data partisipan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema umum, dan menafsirkan makna data. laporan akhir untuk penelitian ini memiliki struktur atau kerangka yang fleksibel.Siapapun yang terlibat dalam bentuk penelitian ini harus menerapkan cara pandang penelitian yang bergaya induktif, berfokus terhadap makna individual, dan menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan. Sedangkan metode yang digunakan yaitu (case study) yang menurut Bogdan & Biklen (1982) mengatakan  “ A case study a detailed examination of one setting or one single  subject or one   single depository  of document or one particular event.  studi kasus (case study)digunakan peneliti dengan  pertimbangan penulis menggunakan studi kasus adalah dalam penelitian ini akan dilakukan dalam setting  yang sempit dan hanya mengacu pada kasus khusnya pergerakan Hizbut Tahrir di Kendari dan pandangan elitnya terhadap kesadaran nasionalisme. Adapun informan-informan kunci yang dijadikan responden dalam penelitian ini yaitu Ketua DPD I HTI Sulawesi Tenggara, Ketua DPD II HTI Kota Kendari, Humas HTI DPD I Sulawesi Tenggara, Pengurus Mahaliyah dan Aktivis Dakwah HTI serta ketua Gema Pembebasan Sulawesi Tenggara
4.      Hasil dan Pembahasan

4.1  Pandangan Elit Politik Hizbut Tahrir Indonesia Terhadap Kesadaran Nasionalisme
Kesadaran nasionalisme dalam abad 21 menjadi sangat penting untuk semakin dikaji karena karena suatu negara dengan adanya kesadaran nasionalisme dari masyarakatnya akan tetap mampu mempertahankan eksistensinya agar tidak terjadi disintegrasi. Selain itu dengan adanya kesadaran nasionalisme masyarakat dalam suatu negara dapat mengantarkan negaranya mampu bersaing atau kompetitif dalam percaturan global baik secara politik, ekonomi, budaya, sosial dan keamanan. Oleh karena itu kesadaran nasionalisme oleh setiap individu dalam lapisan masyarakat harus ditanamkan sejak dini. Meskipun demikian Berdasarkan hasil wawancara penulis dalam menggali dan memperoleh data dan informasi tentang pandangan elit politik Hizbut Tahrir Indonesia dalam pandanganya mengenai kesadaran nasionalisme dapat ketahui bahwa Hizbut Tahrir Indonesia tidak setuju dengan paham nasionalisme dan pentingya kesadaran nasionalisme. Hal ini dapat diindikasikan dengan beberapa tanggapan dari beberapa responden yang diwawancarai bahwa Hizbut Tahrir Indonesia menolak nasionalisme karena beberapa alasan  menurut analisis bahwa  Hizbut Tahrir Indonesia menolak nasionalime yaitu sebagai berikut:
1)      Bahwa nasionalisme adalah bahagian paham yang lahir dari sistem demokrasi dan paham liberalisme di eropa sehingga sebagai kelompok organisasi islam yang paling konsisten dengan keinginan mewujudkan sistem pemerintahan khilafah menjadi mustahil untuk menerima paham nasionalisme karena akan terjadi benturan ideologis.
2)      Hizbut tahrir memandang dan menyadari bahwa nasionalisme adalah sebuah paham yang berorientasi pada pertarungan   pemikiran atau ghozaul fikra  terhadap upaya barat dalam menjaga eksistensi dan kendali terhadap negeri-negeri muslim agar tidak bersatu dalam satu kesatuan dalam konsep word state  yaitu pemerintahan khilafah.
3)      Hizbut tahrir memandang bahwa Nasionalisme secara fitrah  adalah merupakan  ikatan yang sangat lemah  yang mana ikatan itu muncul karena atas dasar naluri mempertahankan diri berupa membebaskan diri dari penjajahan karena perasaaan senasib, memiliki tujuan yang sama dan wilayah  territorial yang sama.
4)      Nasionalisme dalam pandangan Hizbut Tahrir tidak akan dapat mengantarkan pada kebangkitan dan kejayaan peradaban  islam dan umatnya karena setiap negeri akan mengurus negerinya sendiri dan tidak akan memikirkan urusan umat islam di negeri lain.
5)      Adanya hujjah atau landasan-landasan dalil yang dillarang terhadap nasionalisme dalam pandangan islam sebagaimana diuraikan sebelumnya.
Selanjutnya selain dari faktor- faktor yang menyebabkan ketidaksepahaman dari Hizbut Tahrir sebagaimana dalam diuraikan diatas. Maka dalam analisis penulis memandang bahwa  memang disisi lain dapat disadari salah satu kontribusi nasionalisme adalah merupakan  satu pokok pikiran yang merubah dunia seperti yang diungkapkan oleh Barbara Ward 1983, bahwa  nasionalisme telah mengubah struktur pemerintahan dan negara yang ada di dunia dari  sistem imperium di dunia Barat dan khilafah di dunia Islam menjadi sistem nation - state. Munculnya nation-state di dunia Islam dalam pandangan Hizbut Tahrir merupakan hasil rekayasa negara-negara barat yang berusaha menjajah, menguasai dan mengeruk kekayaan di dunia  islam. Ketika melakukan penjajahan secara fisik dianggap sudah tidak modern, maka penjajahan secara non-fisik pun dijalankan. Penjajahan non- fisik dengan melakukan penguasaan aset- asset suatu wilayah di bekas wilayah peradaban Islam yang semakin mudah ditempuh ketika wilayah tersebut dilanda perpecahan menjadi negara yang  berjumlah lebih dari lima puluh ditambah lagi konflik-konflik internal dalam suatu  Negara.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis memiliki pandangan dan analisis bahwa nasionalisme patut direnungkan kembali kesesuaiannya sebagai unsur pembangkit khususnya di negeri- negeri Muslim. Hal ini disebabkan dunia Barat dan islam mempunyai standar yang khas yang berbeda dalam mengukur sesuatu.  Standar Barat yang lekat dengan sekulerisme adalah ketika hal tersebut bermanfaat diambil, ketika dianggap dan ketika tidak bermanfaat tidak diambil sehingga sangat mudah terjadi  relativitas, kebingungan dan dapat menciptakan konflik baru karena relativitas tadi,  pendapat masing- masing orang dapat berbeda. Lebih jauh jika ditelaah maka  sistem nasionalisme dan  nation- state dalam dunia barat pun  dianggap  sudah tidak  terlalu relevan lagi terbukti dengan adanya Uni Eropa yang berbentuk  region- state.  Kondisi dan Realitas ini dapat dipertegas dengan pendapat   Kenichi Ohmae (M.Kholid Syeranzi 2003) dalam karyanya “The End of Nation State” pun mengemukakan bahwa  yang berkuasa di era globalisasi saat ini adalah bukan nasionalisme dan negara bangsa  melainkan pasar modal, karena sistem internasional yang dominan bercorak neoliberal.  Sementara kaum muslimin sejak dulu telah diminta untuk tidak bercerai-berai dan selalu  berada dalam ikatan akidah Islam bukan nasionalisme. Kelompok atau partai boleh berbeda namanya tetapi asas, landasan dan apa yang diperjuangkan seharusnya selaras dengan akidah Islam dan visi misi rahmatal lil alamin.

4.2  Dampak Pergerakan Hizbut Tahrir Indonesia Terhadap Kesadaran Nasionalisme

Metode  pengkaderan dan pembinaan serta metode thalabun nusroh membuat perkembangan Hizbut Tahrir menjadi sangat pesat hampir disetiap kota-kota besar di Indonesia dari berbagai kalangan. Kelompok yang menjadi   sasaran utama bagi perekrutan  adalah profesional dan mahasiswa. Hizbut Tahrir Indonesia menyadari betul tentang perubahan yang dilakukan oleh mahasiswa, maka tidak mengherankan bahwa perkembangan awal Hizbut Tahrir di Indonesia adalah diawali dengan pergerkaan mahasiswa dikampus-kampus atau universitas-universitas besar seperti IPB, UGM, UNPAD, UI dan Universitas lainya di Indonesia.  Perkembangan dan pergerakan Hizbut Tahrir dikalangan mahasiswa  semakin mengalami perkembangan signifikan. Kelompok mahasiswa yang telah bergabung dan menjadi kader-kader pergerakan Hizbut Tahrir berusaha memanfaatkan lembaga-lembaga semi otonom dalam kampus seperti MPM (Majelis Pencita Mushala), LDK (Lembaga Dakwah Kampus), Gema Pembebasan. Dengan demikian maka yang Hizbut Tahrir sangat menfokuskan golongan-golongan terpelajar agar menjadi kader-kader aktivisnya untuk memperjuangkan ide pemikiran khilafah. Selain kelompok terpelajar kelompok lain yang penting yang ditargetkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia  adalah perempuan Muslim. Dalam upaya mereka untuk mendidik massa dan aktivis merekrut, Hizbut Tahrir Indonesia  juga memanfaatkan organisasi formal dalam banyak kasus,
Mobilisasi   sumber daya  merupakan langkah yang  paling penting dalam strategi Hizbut Tahrir Indonesia  untuk memperoleh dukungan tentang konsep pemikiran yang dijadikan dasar dalam pergerakanya yaitu konsep khilafah. Maka untuk dapat menjangkau lebih luas kepada masyarakat dalam upaya untuk mengubah pola pikir umat Islam tentang pentinya dan kewajiban tentang pendirian khilafah sebagai pemerintahan islam, maka  Hizbut Tahrir Indonesia menggunakan media, dengan cara publikasi,  Hizbut Tahrir  menghasilkan pamflet mingguan yang dikenal  dengan buletin Al-Islam. Hizbut Tahrir  juga menerbitkan sebuah jurnal bulanan yang disebut  Al-Wai'e. jurnal Al-Wai'e pertama kali diterbitkan pada tahun 2000 tepat sebelum konferensi Khilafah tahun 2000 dan diluncurkan pada saat konferense. Al-Wai'e memiliki konten yang lebih intelektual, Jurnal ini terstruktur dan sering termasuk beberapa kolom seperti Analisis Utama (Main Analisis), Muhasabah (Refleksi), Fokus Utama (Fokus Utama), Wawancara Khusus. Selain pamflet dan jurnal yang digunakan Hizbut Tahrir dalam mengemas media sebagai tempat menyebarluaskan pemahaman tentang konsep pergeraknya Hizbut Tahrir juga sering menggunakan video untuk menyebarkan pesan mereka. Mereka mempekerjakan tim profesional terlatih dengan menggunakan operator atau kru video untuk merekam setiap kegiatan yang mereka lakukan.  Maka dengan demikian pergerakan  yang dilakukan Hizbut Tahrir Indonesia dalam menyebarkan pemahamanya sangat masif terhadap berbagai kalangan masyarakat oleh karena itu sangat memungkinkan dapat mempengaruhi masyarkat dari pemahamn dan pemikiran yang disampaikan termasuk mengenai nasionalisme.

Berdasarkan penjelasan diatas maka menurut analisis penulis langkah yang tepat untuk menyelesaikan persoalan dari dampak pergerakan Hizbut Tahrir yang menolak nasionalisme yaitu  selain mempersempit ruang gerakan dari pergerakan Hizbut tahrir  juga adalah melibatkan dunia pendidikan yang bukan hanya pada lingkup formal tetapi juga non formal dan masyarakat. Meskipun demikian  kondisi  dan realitas pergerakan yang dilakukan Hizbut Tahrir Indonesia dalam mempropagandakan ide-idenya sangat berbanding terbalik dengan peran yang dilakukan lembaga pendidikan  khususnya Pendidikan Kewarganegaraan dalam menumbuhkembangkan semangat nasionalisme.
Kesimpulan
Berdasarkan sejumlah temuan penelitian yang telah diuraikan di atas maka peneliti mendapatkan beberapa kesipmulan dari penelitian ini. Adapun kesimpulan yang pertama bahwa penelitian ini memberikan gambaran bahwa Hizbut Tahrir Indonesia adalah salah satu organsiasi yang menolak tentang pentingnya kesadaran nasionalisme. Hizbut Tahrir Indonesia menolak nasionalisme dengan beberapa alasan diantaranya 1) nasionalisme adalah sebuah ikatan yang lemah, 2) nasionalisme bukan paham pemikiran dari islam, 3) nasionalisme membuat umat islam terpecah-belah menjadi negara-negara kecil  dan menjadi lemah, 4), nasionalisme bertentangan dengan pemikiran islam. Pergerkan  Hizbut Tahrir Indonesia  bukanlah ancaman langsung kepada pemerintah Indonesia dan nasionalisme karena menggunakan posisi politik non-kekerasan, tetapi visi menghidupkan kembali kekhalifahan islam adalah bertentangan langsung dengan ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila sehingga dalam  waktu yang panjang  ada kemungkinan Hizbut Tahrir Indonesia  akan meningkatkan pengaruhnya terhadap menurunya semangat nasionalisme dimasa depan sesuai dengan strategi mobilisasinya, tetapi akan butuh beberapa tahun lagi sebelum menjadi ancaman serius nasionalisme  bagi negara Indonesia.



Daftar Pustaka
Antarikasa,Yani.2010.Gerakan-Hizbut-Tahrir-Indonesia-Strategi-Mobilisasi-Dan-Dampaknya. Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Pusat Pengkajian strategis. https://id.scribd.com/doc/81790325/Mabes-TNI-Gerakan-Hizbut-Tahrir-Indonesia-Strategi-Mobilisasi-Dan-Dampaknya
Aziz, Abdul Wahab., dan Sapriya. (2011). Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Alpabeta..
Bogdan,R.C. dan Biklen,S.K. (1982). Qualitative Research for Education Introduction in Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.Inc Cipta.
Creswell, J. W. (2010). Research Desaign (pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dewi, I.M. (2008). Nasionalisme dan Kebangkitan dalam Teropong. Jurnal Mozaik, 3 (3), hlm. 13-32.
Kohn, H. 1971. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya (terjemahan Sumantri Mertodipura).
Mardawani. 2014. Pembinaan Semangat Nasionalisme Indonesia dalam Menghadapi Tantangan Kosmopolitanisme dan Etnisitas Melalui Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan . Lab PKN UPI
Muhamad, H (2000). Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi, LKIS: Jakarta
Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan.
Sarjono, Puspawardjo. (1995). Pendidikan Wawasan Kebangsaan. Jakarta: Gramedia
Smith, Anthony D., 2003. Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah: penerbit Erlangga. Jakarta
Soekarno  1963 dibawah bendera revolusi. jakarta: Panitya  Penerbit dibawah Bendera revolusi

Suhatno dkk, 1995. Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan: Haji Agus Salim dan Muhammad Husni Thamrin,  CV. Dwi Jaya Karya: Jakarta
Syeranzi, M.Kholid. 2003. Dilemma Paraktis Globalisme  Neoliberal. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 7 nomor1 juli 2013 https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/11076/8317
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika.
Ward, 1983 Barbara, Terj. Lima Pokok Pikiran yang mengubah Dunia, Jakarta: Pustaka Jaya,
Winarno.2013. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan; Isi, Strategi dan Penilaian. Bumi Aksara
Winataputra, U. & Budimansyah, D. (2012).Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Internasional.Bandung: Widya Aksara Press.

Winataputra, Udin S. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Prespektif Pendidikan Untuk mencerdaskan Kehidupan Bangsa; Gagasan, Instrumental dan Praksis.Widya Aksara Press: Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar