Senin, 23 Maret 2020

REVIEW HISTORI EDUCATION IN INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pendidikan yang visioner merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang. Pendidikan juga sebagai usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi muda bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa.
Berdasarkan esensi tersebut, pendidikan berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Penguatan pembangunan karakter pada konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda bangsa ini. Oleh karena itu, pembangunan karakter merupakan inti dari suatu proses pendidikan.
Pembelajaran sejarah seringkali dianggap oleh siswa sebagai pelajaran yang tidak terlalu penting dan hanya sebagai pelengkap. Bahkan Hasan (2012: 60) menyebutkan bahwa tampaknya mata pelajaran sejarah merupakan sesuatu yang sudah dianggap antik dan dibuang sayang. Maka pelajaran sejarah menjadi sesuatu yang bukan lagi dibutuhkan tetapi kehadiran mata pelajaran ini tidak mungkin dihilangkan. Keluhan bahwa pembelajaran sejarah dianggap tidak menyenangkan pada umumnya merupakan hal yang mendasari alasan dilakukan penelitian oleh mahasiswa, guru, serta pemerhati pendidikan sejarah.
Pangkal permasalahan tersebut dipicu oleh kenyataan bahwa siswa biasanya memperoleh citarasa sejarah yang merasuk dalam hati mereka, bukan dari keterlibatannya dalam kerja sejarawan, ataupun minimal dari sentuhan langsung dengan sumber sejarah sekaligus menganalisisnya (Heidrich, 2006: 8).
Citarasa sejarah yang dimiliki oleh siswa lebih banyak dihasilkan oleh kesan mereka terhadap buku teks sejarah. Sehingga buku teks sejarah memiliki masalah sendiri yang membutuhkan perhatian dalam penyelesaiannya. Ditambah lagi bahwa kenyataan yang menunjukkan bahwa pada umumnya buku teks pelajaran sejarah yang digunakan oleh guru bukanlah karya guru itu sendiri, tetapi ditulis oleh orang lain. Sehingga memungkinkan terjadinya penafsiran atau interpretasi yang berbeda antara penulis buku teks sejarah dengan guru mata pelajaran sejarah ketika mengajarkannya kepada peserta didik.
Mengenai pembangunan karakter, pendidikan memiliki peran penting disana. Pendidikan diharapkan berperan serta aktif sebagai filter penyaring dampak negatif dari modernitas dewasa ini dan berperan sebagai upaya dalam membangun karakter generasi muda. Terlebih lagi dalam pendidikan sejarah, hal ini tergambar dalam esensi mata pelajaran sejarah dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006, yakni “mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik”. Pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah yang diterapkan di sekolah melalui buku teks mata pelajaran sejarah dapat menjadi sarana untuk menumbuhsuburkan nilai-nilai budi pekerti dan kemanusiaan peserta didik. Berdasarkan esensi tersebut, sehingga penulis merasa perlu untuk mengetengahkan makalah ini yang berjudul “Analisis Pembangunan Karakter dalam Buku Teks Sejarah”.
B.  Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, selanjutnya untuk memperkuat pembahasan makalah ini, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.    Apa yang dimaksud dengan buku teks?
2.    Apa yang dimaksud dengan karakter?
3.    Bagaimana analisis pembangunan karakter dalam buku teks sejarah?

C.  Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, selanjutnya tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut :
1.    Mengetahui pengertian mengenai buku teks.
2.    Mengetahui pengertian mengenai karakter.
3.    Mengetahui hasil analisis pembangunan karakter dalam buku teks sejarah.

D.  Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan yaitu metode studi literatur, dengan mengumpulkan sumber dari buku, jurnal, dan karya tulis lainnya yang berkaitan dengan pembangunan karakter yang kemudian dideskriptifkan dalam bentuk narasi melalui analisis buku teks yang dikaji.

E.  Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini terdiri menjadi empat bagian, yaitu
Pertama BAB I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Kedua, BAB II membahas mengenai kajian pustaka dari buku teks dan karakter.
Ketiga, BAB III berisi tentang identitas buku dan hasil analisis mengenai pembangunan karakter dalam buku teks sejarah.
Keempat, BAB IV merupakan kesimpulan.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.      Buku Teks
Menurut Lange dalam Tarigan (2009: 12) bahwa buku teks adalah buku standar atau buku setiap cabang studi dan dapat terdiri atas dua tipe yaitu buku pokok utama dan buku suplemen atau tambahan. Berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa buku teks adalah buku yang terdiri dua tipe yaitu buku pokok dan suplemen yang digunakan untuk menunjang pelajaran tertentu, disusun secara sistematis guna memberikan pemahaman sesuai kebutuhan pembacanya yaitu pesarta didik.
Sedangkan menurut Muslich (2010: 50)
Buku teks adalah buku yang berisi uraian bahan tentang mata pelajaran atau bidang studi tertentu, yang disusun secara sistematis dan telah diseleksi berdasarkan tujuan tertentu, orientasi pembelajaran, dan perkembangan siswa untuk diasimilasikan (Muslich, 2010:50).

Berdasarkan opini tersebut, buku teks digunakan untuk mata pelajaran tertentu. Penggunaan buku teks tersebut didasarkan pada tujuan pembelajaran yang mengacu pada kurikulum. Selain menggunakan buku teks, pengajar dapat menggunakan sarana-sarana ataupun teknik yang sesuai dengan tujuan yang sudah dibuat sebelumnya. Penggunaan yang memadukan buku teks, teknik serta sarana lain ditujukan untuk mempermudah pemakai buku teks terutama peserta didik dalam memahami materi.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 Tahun 2005 menjelaskan bahwa buku teks adalah buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, serta potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan. Sedangkan Direktorat Pendidikan Menengah Umum (2004: 3) menyebutkan bahwa buku teks atau buku pelajaran adalah sekumpulan tulisan yang dibuat secara sistematis berisi tentang suatu materi pelajaran tertentu, yang disiapkan oleh pengarangnya dengan menggunakan acuan kurikulum yang berlaku. Substansi yang ada dalam buku diturunkan dari kompetensi yang harus dikuasai oleh pembacanya dalam hal ini peserta didik.
B.       Pembangunan Karakter
Kata “karakter” berasal dari bahasa latin “kharakter”,“kharassein”, “kharax” dan dalam bahasa Inggris “character”. Sementara dalam bahasa Indonesia lazim disebut dengan kata “karakter”. Pada bahasa Yunani character dan charassain yang berarti membuat tajam, membuat dalam. Dalam kamus Poerwardarminta, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain. Nama dari jumlah seluruh ciri pribadi yang meliputi hal-hal seperti perilaku, kebiasaan, kesukaan, ketidaksukaan, kemampuan, potensi, nilai-nilai, dan pola-pola pemikiran (Majid dan Andayani, 2011: 42).
Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona. Menurutnya karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya Lickona menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991: 51). Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi tiga unsur yaitu pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitides), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).
Sementara menurut para ahli, pengertian karakter dipaparkan sebagai berikut:
Scerenko mendefinisikan karakter sebagai atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis dan kompeksitas mental dari seseorang, suatu kelompok atau bangsa (Samani dan Haryanto, 2011: 42).
Winnie mamahami bahwa istilah karakter memiliki dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berprilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan personality. Seseorang baru bisa disebut orang yang  berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral (Gunawan, 2012: 2).
Berdasarkan kedua pendapat tersebut,  penulis berasumsi bahwa karakter merupakan nilai-nilai universal perilaku manusia yang meliputi seluruh aktivitas kehidupan, baik yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia maupun dengan lingkungan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Membangun karakter bangsa membutuhkan waktu yang lama dan harus dilakukan secara berkesinambungan. Karakter yang melekat pada bangsa kita akhir-akhir ini bukan begitu saja terjadi secara tiba-tiba, tetapi sudah melalui proses yang panjang. Potret kekerasan, kebrutalan, dan ketidakjujuran anak-anak bangsa yang ditampilkan oleh media baik cetak maupun elektronik sekarang ini sudah melewati proses panjang. Budaya seperti itu tidak hanya melanda rakyat umum yang kurang pendidikan, tetapi sudah sampai pada masyarakat yang terdidik, seperti pelajar dan mahasiswa, bahkan juga melanda para elit bangsa ini. Sehingga karakter-karakter positif dalam pembelajaran sejarah diharapkan mampu menjadi solusi atas permasalahan tersebut dikarenakan pendidikan sejarah menurut Hasan (2012: 63) memiliki potensi sebagai berikut:
1.      Mengembangkan kemampuan berpikir kritis;
2.      Mengembangkan rasa ingin tahu;
3.      Mengembangkan kemampuan berpikir kreatif;
4.      Mengembangkan sikap kepahlawanan dan kepemimpinan;
5.      Membangun dan mengembangkan semangat kebangsaan;
6.      Mengembangkan kepedulian sosial;
7.      Mengembangkan kemampuan berkomunikasi; dan
8.      Mengembangkan kemampuan mencari, mengolah, mengemas, dan mengkomunikasikan informasi.


BAB III
PEMBAHASAN

A.  Identitas Buku
Buku ini merupakan buku pegangan siswa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Buku pegangan siswa ini disusun dan ditelaah oleh berbagai pihak di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan dipergunakan dalam tahap awal penerapan Kurikulum 2013.
Judul                           : Sejarah Indonesia untuk SMA/MA/SMK/MAK Kelas XII
Kontributor                : Susanto Zuhdi, Abdurakhman, Arif Pradono, dan Linda Sunarti.
Penelaah                      : Baha Uddin, Hariyono, dan Joko Sayono.
Penyelia Penerbitan     : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.
Tahun                          : 2015.
Jumlah halaman           : 232 hlm.

Makalah ini akan difokuskan pada pembahasan mengenai karakter-karakter positif  yang menjadi cita-cita pemerintah dalam pelaksanaan kurikulum 2013. Karakter-karakter yang dimaksud akan diperoleh dari beberapa pembahasan dari buku teks sejarah ini. Mengenai karakter apa yang dimaksud pada konteks pendidikan saat ini, Hasan (2012: 82) mengemukakan
Dalam wilayah Pendidikan Karakter Bangsa, keterampilan, nilai dan sikap yang dikembangkan kurikulum adalah sesuatu yang sudah pernah dimiliki masyarakat dan bangsa Indonesia tetapi dikesampingkan dan tidak menjadi kepedulian utama pendidikan. Kepedulian terhadap pengetahuan yang berlebihan dan dijadikan indikator keberhasilan pendidikan telah menyebabkan pendidikan mengabaikan dimensi lain dari potensi manusia seperti aspek lain dari kemampuan kognitif, nilai dan sikap, kemampuan berkomunikasi dan hidup berdampingan, kebiasaan belajar, cinta tanah air, kebiasaan hidup sehat, dan sebagainya.

B.  Analisis Isi Buku
1.    Teladan Para Tokoh Persatuan
Pembahasan “Teladan Para Tokoh Persatuan” ini terdapat pada bab I tepatnya pada sub bab “Dari Konflik Menuju Konsensus Suatu Pembelajaran”. Beberapa tokoh yang dibahas dalam buku teks sejarah ini merupakan para pahlawan nasional yang memiliki jasa dalam mewujudkan integrasi bangsa Indonesia. Namun tidak semua tokoh pahlawan dibahas, melainkan beberapa diambil dari beberapa kategori yaitu pahlawan dari daerah dalam hal ini kontributor mengambil pahlawan nasional dari Papua, kemudian keteladanan para tokoh pahlawan nasional Indonesia yang berstatus sebagai raja yang melakukan pengorbanan jabatan dan materi, selanjutnya kontributor juga mengambil contoh dari para tokoh persatuan yang berjuang melalui seni dan sastra, dan kategori terakhir keteladanan juga diambil dari tokoh perempuan pejuang. Berikut kutipan dari narasi yang tertera pada buku teks sejarah mengenai karakter dari keteladanan tokoh
Tahun 1948 Kaisiepo ikut berperan dalam merancang pemberontakan rakyat Biak melawan pemerintah kolonial Belanda. Setahun setelahnya, ia menolak menjadi ketua delegasi Nederlands Nieuw Guinea ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Konsekuensi atas penolakannya adalah selama beberapa tahun setelah itu ia dipekerjakan oleh pemerintah kolonial di distrik-distrik terpencil Papua (Zuhdi et.al, 2015: 35).
Pada tahun 1940, ketika Sultan Hamengkubuwono IX dinobatkan menjadi raja Yogjakarta, ia dengan tegas menunjukkan sikap nasionalismenya. Dalam pidatonya saat itu, ia mengatakan: “Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa” (Zuhdi et.al, 2015: 38).
Lagu-lagu yang diciptakan Ismail Marzuki itu sangat diwarnai oleh semangat kecintaannya terhadap tanah air. Latar belakang keluarga, pendidikan dan pergaulannyalah yang menanamkan perasaan senasib dan sepenanggungan terhadap penderitaan bangsanya. ketika RRI dikuasai Belanda pada tahun 1947 misalnya, Ismail Marzuki yang sebelumnya aktif dalam orkes radio memutuskan keluar karena tidak mau bekerjasama dengan Belanda. Ketika RRI kembali diambil alih republik, ia baru mau kembali bekerja di sana (Zuhdi et.al, 2015: 41).
Walaupun sudah mendapat tekanan yang sangat berat baik dari pihak kerajaan dan pemerintah kolonial Belanda, Opu Daeng Risaju tidak menghentikan aktivitasnya. Dia mengikuti kegiatan dan perkembangan PSII baik di daerahnya maupun di tingkat nasional. Pada tahun 1933 Opu Daeng Risaju dengan biaya sendiri berangkat ke Jawa untuk mengikuti kegiatan Kongres PSII. Dia berangkat ke Jawa dengan biaya sendiri dengan cara menjual kekayaan yang ia miliki (Zuhdi et.al, 2015: 43).

Keempat teks tersebut memberikan pemahaman kepada pembacanya dalam hal ini siswa tentang karakter-karakter yang dimiliki oleh para tokoh mulai dari Frans Kaisiepo, Sultan Hamengkubuwono IX, Ismail Marzuki, dan Opu Daeng Risaju yang kesemuanya menyiratkan beberapa karakter yang positif seperti rela berkorban, pantang menyerah, patriotisme, nasionalisme, dan kepemimpinan.
Selain itu, di akhir pembahasan sub bab, kontributor menyajikan kesimpulan yang penulis asumsikan sebagai intisari pembahasan sub bab sekaligus untuk mempermudah peserta didik menyerap hikmah dari karakter-karakter positif yang ditunjukkan para tokoh. Kesimpulan yang disajikan ialah sebagai berikut:
(Zuhdi et.al, 2015: 45)

2.    Konfrontasi terhadap Malaysia

Pemerintah Indonesia pada saat itu menentang karena menurut Presiden Soekarno pembentukan Federasi Malaysia merupakan sebagian dari rencana Inggris untuk mengamankan kekuasaanya di Asia Tenggara. Pembentukan Federasi Malaysia dianggap sebagai proyek Neokolonialisme Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia. Oleh karena itu, berdirinya negara federasi Malaysia ditentang oleh pemerintah Indonesia (Zuhdi et.al, 2015: 96).

Berdasarkan teks tersebut, terkhusus pada kata “menentang”, menyiratkan sebuah karakter keberanian dari sosok Presiden Soekarno yang menganggap bahwa pembentukan Federasi Malaysia merupakan bentuk neokolonialisme dari Inggris. Neokolonialisme tersebut, menurut Soekarno membahayakan revolusi Indonesia. Karakter keberanian pada diri Presiden Soekarno yang tersirat pada teks tersebut menunjukkan usaha beliau agar benih-benih penjajahan ataupun semacamnya perlu dilawan karena akan menyengsarakan rakyat.
Mengingat telah beberapa kali dilakukan jajak pendapat antara pihak Indonesia, Filipina, dan Malaysia mengenai pembentukan Federasi Malaysia hingga membuahkan beberapa kesepakatan yang intinya bahwa Indonesia dan Filipina sepakat untuk pembentukan Federasi Malaysia jika rakyat Kalimantan Utara menyetujui hal itu. Namun, belum juga dilakukan dengar pendapat dari rakyat Kalimantan Utara yang saat itu dikawal langsung oleh PBB, Federasi Malaysia diproklamasikan pada tanggal 16 September 1963.
Presiden Soekarno tidak dapat menerima tindakan yang dilakukan oleh PM Tengku Abdul Rahman karena menganggap referendum tidak dijalankan secara semestinya. Hal itu merupakan suatu perwujudan dari “act of bad faith” dari Tengku Abdul Rahman. Aksi-aksi demonstrasi menentang terjadi di Jakarta yang dibalas pula dengan aksi-aksi demontrasi besar terhadap kedutaan RI di Kuala Lumpur, sehingga pada tanggal 17 September 1963, hubungan diplomatik Indonesia Malaysia diputuskan. Pemerintah RI pada tanggal 21 September memutuskan pula hubungan ekonomi dengan Malaya, Singapura, Serawak dan Sabah. Pada akhir tahun 1963 pemerintah RI menyatakan dukungannya terhadap perjuangan rakyat Kalimantan Utara dalam melawan Neokolonilisme Inggris (Zuhdi et.al, 2015: 97).
Demi mempertegas ketidaksenangannya terhadap pembentukan Federasi Malaysia sebagai bentuk neokolonialisme, maka demikianlah bentuk kekonsistenan Soekarno dalam mempertahankan idealismenya.
3.    Perkembangan Politik dan Ekonomi Mulai dari Orde Baru hingga Masa Reformasi
Pembahasan selanjutnya, mengenai perkembangan politik dan ekonomi dimulai dari era orde baru hingga reformasi. Karakter yang sebagaimana penulis analisis dari buku teks sejarah ini, merupakan karakter-karakter yang lahir dari kepemimpinan dari masing-masing Presiden Republik Indonesia dari masa ke masa melalui kebijakan-kebijakannya dalam bidang politik dan ekonomi. Penulis memandang bahwa kontributor ingin menampilkan fakta-fakta sejarah yang disertai pula dengan kebijakan-kebijakan pemerintah saat itu sehingga peserta didik dapat mengambil hikmah dari setiap perjalanan sejarah bangsa Indonesia di era yang berbeda.
Tujuan perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan bernegara yang didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan dengan tujuan tersebut maka ketika kondisi politik bangsa Indonesia mulai stabil untuk melaksanakan amanat masyarakat maka pemerintah mencanangkan pembangunan nasional yang diupayakan melalui Program Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui pembangunan lima tahun (Pelita) yang di dalamnya memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia (Zuhdi et.al, 2015: 128).
Secara perlahan presiden Habibie berhasil membawa perekonomian melangkah ke arah yang jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan ekonomi yang sangat buruk, ketika terjadinya pengalihan kepemimpinan nasional dari Soeharto kepada Habibie. Pemerintahan Habibie berhasil menurunkan laju inflasi dan distribusi kebutuhan pokok mulai kembali berjalan dengan baik. Selain itu, yang paling signifikan adalah nilai tukar rupiah mengalami penguatan secara simultan hingga menyentuh Rp. 6.700,-/dolar AS pada bulan Juni 1999. Padahal pada bulan yang sama tahun sebelumnya masih sekitar Rp. 15.000,-/dollar AS. Meski saat naiknya eskalasi politik menjelang Sidang Umum MPR rupiah sedikit melemah mencapai Rp. 8000,-/dolar AS (Zuhdi et.al, 2015: 161).
Masalah lain yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid adalah upaya untuk menyelesaikan berbagai kasus KKN yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru. Berbagai kasus KKN tersebut kembali dibuka pada tanggal 6 Desember 1999 dan terfokus pada apa yang telah dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto dan keluarganya. Namun dengan alasan kesehatan, proses hukum terhadap Soeharto belum dapat dilanjutkan. Kendati proses hukum belum dapat dilanjutkan, Kejaksaan Agung menetapkan mantan Presiden Soeharto menjadi tahanan kota dan dilarang bepergian ke luar negeri. Pada tanggal 3 Agustus 2000 Soeharto ditetapkan sebagai terdakwa terkait beberapa yayasan yang dipimpinnya (Zuhdi et.al, 2015: 165).
Minimnya kontroversi selama masa pemerintahan Megawati berdampak positif pada sektor ekonomi. Hal ini membuat pemerintahan Megawati mencatat beberapa pencapaian di bidang ekonomi dan dianggap berhasil membangun kembali perekonomian bangsa yang sempat terpuruk sejak beralihnya pemerintahan dari pemerintahan Orde Baru ke pemerintahan pada era reformasi (Zuhdi et.al, 2015: 170).
Selain memfokuskan pada manusia dan rumah tangganya, program pengentasan kemiskinan juga berupaya untuk memperbaiki fisik lingkungan dan prasarananya seperti gedung sekolah, fasilitas kesehatan, jalan, air bersih, dll. Program 100 hari pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan prioritas pada peninjauan kembali RAPBN 2005, menetapkan langkah penegakkan hukum, langkah awal penyelesaian konflik di Aceh dan Papua, stimulasi ekonomi nasional dan meletakkan fondasi yang efektif untuk pendidikan nasional (Zuhdi et.al, 2015: 177).
Berdasarkan keempat kutipan dari buku teks sejarah tersebut, kontributor menyajikan beberapa pencapaian dari kebijakan pemerintah di eranya masing-masing. Meskipun tidak terlalu konkrit, namun karakter yang berusaha ditampilkan oleh kontributor pada setiap tokoh dalam hal ini para Presiden Republik Indonesia menitikberatkan pada semangat memajukan politik maupun perekonomian bangsa.


BAB IV
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Buku teks adalah buku yang berisi uraian bahan tentang mata pelajaran atau bidang studi tertentu, yang disusun secara sistematis dan telah diseleksi berdasarkan tujuan tertentu, orientasi pembelajaran, dan perkembangan siswa untuk diasimilasikan. Sedangkan karakter merupakan nilai-nilai universal perilaku manusia yang meliputi seluruh aktivitas kehidupan, baik yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia maupun dengan lingkungan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Hasil Analisis mengenai pembangunan karakter dalam buku teks sejarah menunjukkan bahwa kontributor dalam hal ini Zuhdi dkk memberikan sajian-sajian historiografi yang sesuai pada jenjang kelas XII dengan pesan-pesan pembangunan karakter yang tersirat melalui narasi-narasi yang ada pada buku teks sejarah yang ditulisnya. Namun demikian, penulis berasumsi bahwa hal yang demikian menjadi hal yang wajar mengingat jenjang kelas XII meliputi peserta didik yang memiliki usia matang untuk menganalisis setiap narasi yang tersaji.










DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Hamid S. 2012. Pendidikan Sejarah Indonesia. Bandung: Rizqy Press.
Hasan, Hamid S. 2012. Pendidikan Sejarah untuk Memperkuat Pendidikan Karakter. Jurnal Paramita Vol. 22 No. 1 - Januari 2012 [ISSN: 0854-0039] Hlm. 81—95.
Heidrich, Charles W. 2006. Ancient History: Monuments and Documents. Malden: Blackwell Publishing.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam Books.
Majid, Abdul dan Andayani, Dian. 2011. Pendidikan Karakter Persepektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Muslich, Masnur. 2010. Melaksanakan PTK Penelitian Tindakan Kelas itu Mudah. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Pasal 1 (3) tentang Buku.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.`
Zuhdi, Susanto. 2015. Sejarah Indonesia untuk SMA/MA/SMK/MAK Kelas XII. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar