BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan yang visioner
merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga
mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan
masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk
kehidupan masa kini dan masa mendatang. Pendidikan juga sebagai usaha yang
sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik juga suatu usaha
masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi muda bagi keberlangsungan
kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan ditandai oleh
pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa.
Berdasarkan esensi tersebut, pendidikan
berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang.
Nilai-nilai dan prestasi itu merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa
itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga
memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu
itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini
dan masa yang akan datang, serta mengembangkan
prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Penguatan pembangunan karakter
pada konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang
melanda bangsa ini. Oleh karena itu, pembangunan karakter merupakan
inti dari suatu proses pendidikan.
Pembelajaran sejarah seringkali
dianggap oleh siswa sebagai pelajaran yang tidak terlalu penting dan hanya
sebagai pelengkap. Bahkan Hasan (2012: 60) menyebutkan bahwa tampaknya mata
pelajaran sejarah merupakan sesuatu yang sudah dianggap antik dan dibuang
sayang. Maka pelajaran sejarah menjadi sesuatu yang bukan lagi dibutuhkan
tetapi kehadiran mata pelajaran ini tidak mungkin dihilangkan. Keluhan bahwa
pembelajaran sejarah dianggap tidak menyenangkan pada umumnya merupakan hal
yang mendasari alasan dilakukan penelitian oleh mahasiswa, guru, serta
pemerhati pendidikan sejarah.
Pangkal permasalahan tersebut dipicu oleh kenyataan bahwa
siswa biasanya memperoleh citarasa sejarah yang merasuk dalam hati mereka,
bukan dari keterlibatannya dalam kerja sejarawan, ataupun minimal dari sentuhan
langsung dengan sumber sejarah sekaligus menganalisisnya (Heidrich, 2006: 8).
Citarasa sejarah yang dimiliki oleh
siswa lebih banyak dihasilkan oleh kesan mereka terhadap buku teks sejarah.
Sehingga buku teks sejarah memiliki masalah sendiri yang membutuhkan perhatian dalam
penyelesaiannya. Ditambah lagi bahwa kenyataan yang menunjukkan bahwa pada umumnya
buku teks pelajaran sejarah yang digunakan oleh guru bukanlah karya guru itu sendiri,
tetapi ditulis oleh orang lain. Sehingga memungkinkan terjadinya penafsiran
atau interpretasi yang berbeda antara penulis buku teks sejarah dengan guru
mata pelajaran sejarah ketika mengajarkannya kepada peserta didik.
Mengenai pembangunan karakter,
pendidikan memiliki peran penting disana. Pendidikan diharapkan berperan serta
aktif sebagai filter penyaring dampak negatif dari modernitas dewasa ini dan
berperan sebagai upaya dalam membangun karakter generasi muda. Terlebih lagi
dalam pendidikan sejarah, hal ini tergambar dalam esensi mata pelajaran sejarah
dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006, yakni “mengandung nilai-nilai
kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat
pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian
peserta didik”. Pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah yang diterapkan
di sekolah melalui buku teks mata pelajaran sejarah dapat menjadi sarana untuk
menumbuhsuburkan nilai-nilai budi pekerti dan kemanusiaan peserta didik.
Berdasarkan esensi tersebut, sehingga penulis merasa perlu untuk mengetengahkan
makalah ini yang berjudul “Analisis Pembangunan Karakter dalam Buku Teks
Sejarah”.
B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas,
selanjutnya untuk memperkuat pembahasan makalah ini, maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan buku teks?
2.
Apa yang dimaksud dengan karakter?
3.
Bagaimana analisis pembangunan karakter dalam buku teks sejarah?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, selanjutnya tujuan dari penulisan
makalah ini sebagai berikut :
1.
Mengetahui pengertian mengenai buku teks.
2.
Mengetahui pengertian mengenai karakter.
3.
Mengetahui hasil analisis pembangunan karakter dalam buku teks sejarah.
D. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan yaitu metode studi
literatur, dengan mengumpulkan sumber dari buku, jurnal, dan karya tulis
lainnya yang berkaitan dengan pembangunan karakter yang kemudian
dideskriptifkan dalam bentuk narasi melalui analisis buku teks yang dikaji.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini terdiri menjadi empat bagian, yaitu
Pertama BAB I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang masalah, rumusan masalah, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Kedua, BAB II membahas mengenai kajian pustaka dari buku teks dan
karakter.
Ketiga, BAB III berisi tentang identitas buku dan hasil
analisis mengenai pembangunan karakter dalam buku teks sejarah.
Keempat, BAB IV merupakan kesimpulan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Buku Teks
Menurut Lange dalam Tarigan (2009: 12)
bahwa buku teks adalah buku standar atau buku setiap cabang studi dan dapat
terdiri atas dua tipe yaitu buku pokok utama dan buku suplemen atau tambahan.
Berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa buku teks adalah
buku yang terdiri dua tipe yaitu buku pokok dan suplemen yang digunakan untuk
menunjang pelajaran tertentu, disusun secara sistematis guna memberikan
pemahaman sesuai kebutuhan pembacanya yaitu pesarta didik.
Sedangkan menurut Muslich (2010: 50)
Buku teks adalah buku yang berisi
uraian bahan tentang mata pelajaran atau bidang studi tertentu, yang disusun
secara sistematis dan telah diseleksi berdasarkan tujuan tertentu, orientasi
pembelajaran, dan perkembangan siswa untuk diasimilasikan (Muslich, 2010:50).
Berdasarkan opini tersebut, buku teks
digunakan untuk mata pelajaran tertentu. Penggunaan buku teks tersebut
didasarkan pada tujuan pembelajaran yang mengacu pada kurikulum. Selain
menggunakan buku teks, pengajar dapat menggunakan sarana-sarana ataupun teknik
yang sesuai dengan tujuan yang sudah dibuat sebelumnya. Penggunaan yang
memadukan buku teks, teknik serta sarana lain ditujukan untuk mempermudah
pemakai buku teks terutama peserta didik dalam memahami materi.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 11 Tahun 2005 menjelaskan bahwa buku teks adalah buku acuan wajib untuk
digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan
keimanan dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, serta potensi fisik
dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan. Sedangkan Direktorat Pendidikan Menengah Umum
(2004: 3) menyebutkan bahwa buku teks atau buku pelajaran adalah sekumpulan
tulisan yang dibuat secara sistematis berisi tentang suatu materi pelajaran
tertentu, yang disiapkan oleh pengarangnya dengan menggunakan acuan kurikulum
yang berlaku. Substansi yang ada dalam buku diturunkan dari
kompetensi yang harus dikuasai oleh pembacanya dalam hal ini peserta didik.
B. Pembangunan Karakter
Kata “karakter” berasal dari bahasa
latin “kharakter”,“kharassein”, “kharax” dan dalam bahasa Inggris “character”.
Sementara dalam bahasa Indonesia lazim disebut dengan kata “karakter”. Pada
bahasa Yunani character dan charassain yang berarti membuat
tajam, membuat dalam. Dalam kamus Poerwardarminta, karakter diartikan sebagai
tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dengan orang lain. Nama dari jumlah seluruh ciri pribadi yang
meliputi hal-hal seperti perilaku, kebiasaan, kesukaan, ketidaksukaan, kemampuan,
potensi, nilai-nilai, dan pola-pola pemikiran (Majid dan Andayani, 2011: 42).
Secara terminologis, makna karakter
dikemukakan oleh Thomas Lickona. Menurutnya karakter adalah “A reliable
inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya
Lickona menambahkan, “Character so conceived has three interrelated
parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991:
51). Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi tiga
unsur yaitu pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat)
terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata
lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives),
sikap (attitides), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors)
dan keterampilan (skills).
Sementara menurut para ahli, pengertian
karakter dipaparkan sebagai berikut:
Scerenko mendefinisikan karakter sebagai atribut atau
ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis dan kompeksitas
mental dari seseorang, suatu kelompok atau bangsa (Samani dan Haryanto, 2011:
42).
Winnie mamahami bahwa istilah karakter memiliki dua
pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang
berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus, tentulah orang tersebut
memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berprilaku
jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua,
istilah karakter erat kaitannya dengan personality. Seseorang baru bisa disebut
orang yang berkarakter apabila tingkah
lakunya sesuai dengan kaidah moral (Gunawan, 2012: 2).
Berdasarkan kedua pendapat
tersebut, penulis berasumsi bahwa
karakter merupakan nilai-nilai universal perilaku manusia yang meliputi seluruh
aktivitas kehidupan, baik yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama
manusia maupun dengan lingkungan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat.
Membangun karakter bangsa membutuhkan
waktu yang lama dan harus dilakukan secara berkesinambungan. Karakter yang
melekat pada bangsa kita akhir-akhir ini bukan begitu saja terjadi secara
tiba-tiba, tetapi sudah melalui proses yang panjang. Potret kekerasan,
kebrutalan, dan ketidakjujuran anak-anak bangsa yang ditampilkan oleh media
baik cetak maupun elektronik sekarang ini sudah melewati proses panjang. Budaya
seperti itu tidak hanya melanda rakyat umum yang kurang pendidikan, tetapi
sudah sampai pada masyarakat yang terdidik, seperti pelajar dan mahasiswa,
bahkan juga melanda para elit bangsa ini. Sehingga karakter-karakter positif
dalam pembelajaran sejarah diharapkan mampu menjadi solusi atas permasalahan
tersebut dikarenakan pendidikan sejarah menurut Hasan (2012: 63) memiliki
potensi sebagai berikut:
1. Mengembangkan
kemampuan berpikir kritis;
2. Mengembangkan
rasa ingin tahu;
3. Mengembangkan
kemampuan berpikir kreatif;
4. Mengembangkan
sikap kepahlawanan dan kepemimpinan;
5. Membangun dan
mengembangkan semangat kebangsaan;
6. Mengembangkan
kepedulian sosial;
7. Mengembangkan
kemampuan berkomunikasi; dan
8. Mengembangkan
kemampuan mencari, mengolah, mengemas, dan mengkomunikasikan informasi.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Identitas Buku
Buku ini merupakan buku pegangan siswa yang disediakan oleh Pemerintah
dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Buku pegangan siswa ini disusun dan
ditelaah oleh berbagai pihak di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, dan dipergunakan dalam tahap awal penerapan Kurikulum 2013.
Judul : Sejarah Indonesia untuk
SMA/MA/SMK/MAK Kelas XII
Kontributor :
Susanto Zuhdi, Abdurakhman, Arif Pradono, dan Linda Sunarti.
Penelaah : Baha Uddin, Hariyono, dan
Joko Sayono.
Penyelia
Penerbitan : Pusat Kurikulum dan Perbukuan,
Balitbang, Kemdikbud.
Tahun : 2015.
Jumlah halaman : 232 hlm.
Makalah ini akan difokuskan pada
pembahasan mengenai karakter-karakter positif
yang menjadi cita-cita pemerintah dalam pelaksanaan kurikulum 2013.
Karakter-karakter yang dimaksud akan diperoleh dari beberapa pembahasan dari
buku teks sejarah ini. Mengenai karakter apa yang dimaksud pada konteks
pendidikan saat ini, Hasan (2012: 82) mengemukakan
Dalam wilayah Pendidikan Karakter Bangsa, keterampilan,
nilai dan sikap yang dikembangkan kurikulum adalah sesuatu yang sudah pernah
dimiliki masyarakat dan bangsa Indonesia tetapi dikesampingkan dan tidak
menjadi kepedulian utama pendidikan. Kepedulian terhadap pengetahuan yang
berlebihan dan dijadikan indikator keberhasilan pendidikan telah menyebabkan
pendidikan mengabaikan dimensi lain dari potensi manusia seperti aspek lain
dari kemampuan kognitif, nilai dan sikap, kemampuan berkomunikasi dan hidup
berdampingan, kebiasaan belajar, cinta tanah air, kebiasaan hidup sehat, dan
sebagainya.
B. Analisis Isi Buku
1. Teladan Para Tokoh Persatuan
Pembahasan “Teladan Para Tokoh Persatuan” ini terdapat
pada bab I tepatnya pada sub bab “Dari Konflik Menuju Konsensus Suatu
Pembelajaran”. Beberapa tokoh yang dibahas dalam buku teks sejarah ini
merupakan para pahlawan nasional yang memiliki jasa dalam mewujudkan integrasi
bangsa Indonesia. Namun tidak semua tokoh pahlawan dibahas, melainkan beberapa
diambil dari beberapa kategori yaitu pahlawan dari daerah dalam hal ini
kontributor mengambil pahlawan nasional dari Papua, kemudian keteladanan para
tokoh pahlawan nasional Indonesia yang berstatus sebagai raja yang melakukan
pengorbanan jabatan dan materi, selanjutnya kontributor juga mengambil contoh
dari para tokoh persatuan yang berjuang melalui seni dan sastra, dan kategori
terakhir keteladanan juga diambil dari tokoh perempuan pejuang. Berikut kutipan
dari narasi yang tertera pada buku teks sejarah mengenai karakter dari
keteladanan tokoh
Tahun 1948
Kaisiepo ikut berperan dalam merancang pemberontakan rakyat Biak melawan
pemerintah kolonial Belanda. Setahun setelahnya, ia menolak menjadi ketua
delegasi Nederlands Nieuw Guinea ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Konsekuensi atas penolakannya adalah selama beberapa tahun setelah itu ia
dipekerjakan oleh pemerintah kolonial di distrik-distrik terpencil Papua (Zuhdi
et.al, 2015: 35).
Pada tahun 1940,
ketika Sultan Hamengkubuwono IX dinobatkan menjadi raja Yogjakarta, ia dengan
tegas menunjukkan sikap nasionalismenya. Dalam pidatonya saat itu, ia
mengatakan: “Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya,
namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa” (Zuhdi et.al, 2015: 38).
Lagu-lagu yang
diciptakan Ismail Marzuki itu sangat diwarnai oleh semangat kecintaannya
terhadap tanah air. Latar belakang keluarga, pendidikan dan pergaulannyalah
yang menanamkan perasaan senasib dan sepenanggungan terhadap penderitaan
bangsanya. ketika RRI dikuasai Belanda pada tahun 1947 misalnya, Ismail Marzuki
yang sebelumnya aktif dalam orkes radio memutuskan keluar karena tidak mau
bekerjasama dengan Belanda. Ketika RRI kembali diambil alih republik, ia baru
mau kembali bekerja di sana (Zuhdi et.al,
2015: 41).
Walaupun sudah
mendapat tekanan yang sangat berat baik dari pihak kerajaan dan pemerintah
kolonial Belanda, Opu Daeng Risaju tidak menghentikan aktivitasnya. Dia
mengikuti kegiatan dan perkembangan PSII baik di daerahnya maupun di tingkat
nasional. Pada tahun 1933 Opu Daeng Risaju dengan biaya sendiri berangkat ke
Jawa untuk mengikuti kegiatan Kongres PSII. Dia berangkat ke Jawa dengan biaya
sendiri dengan cara menjual kekayaan yang ia miliki (Zuhdi et.al, 2015: 43).
Keempat teks tersebut memberikan pemahaman kepada
pembacanya dalam hal ini siswa tentang karakter-karakter yang dimiliki oleh
para tokoh mulai dari Frans Kaisiepo, Sultan Hamengkubuwono IX, Ismail Marzuki,
dan Opu Daeng Risaju yang kesemuanya menyiratkan beberapa karakter yang positif
seperti rela berkorban, pantang menyerah, patriotisme, nasionalisme, dan
kepemimpinan.
Selain itu, di akhir pembahasan sub bab, kontributor
menyajikan kesimpulan yang penulis asumsikan sebagai intisari pembahasan sub
bab sekaligus untuk mempermudah peserta didik menyerap hikmah dari karakter-karakter
positif yang ditunjukkan para tokoh. Kesimpulan yang disajikan ialah sebagai
berikut:
(Zuhdi et.al, 2015: 45)
2. Konfrontasi terhadap Malaysia
Pemerintah Indonesia pada saat itu menentang karena
menurut Presiden Soekarno pembentukan Federasi Malaysia merupakan sebagian dari
rencana Inggris untuk mengamankan kekuasaanya di Asia Tenggara. Pembentukan
Federasi Malaysia dianggap sebagai proyek Neokolonialisme Inggris yang
membahayakan revolusi Indonesia. Oleh karena itu, berdirinya negara federasi
Malaysia ditentang oleh pemerintah Indonesia (Zuhdi et.al, 2015: 96).
Berdasarkan teks tersebut, terkhusus pada kata “menentang”, menyiratkan
sebuah karakter keberanian dari sosok Presiden Soekarno yang menganggap bahwa
pembentukan Federasi Malaysia merupakan bentuk neokolonialisme dari Inggris.
Neokolonialisme tersebut, menurut Soekarno membahayakan revolusi Indonesia. Karakter
keberanian pada diri Presiden Soekarno yang tersirat pada teks tersebut
menunjukkan usaha beliau agar benih-benih penjajahan ataupun semacamnya perlu
dilawan karena akan menyengsarakan rakyat.
Mengingat telah beberapa kali dilakukan jajak pendapat antara pihak
Indonesia, Filipina, dan Malaysia mengenai pembentukan Federasi Malaysia hingga
membuahkan beberapa kesepakatan yang intinya bahwa Indonesia dan Filipina
sepakat untuk pembentukan Federasi Malaysia jika rakyat Kalimantan Utara
menyetujui hal itu. Namun, belum juga dilakukan dengar pendapat dari rakyat
Kalimantan Utara yang saat itu dikawal langsung oleh PBB, Federasi Malaysia
diproklamasikan pada tanggal 16 September 1963.
Presiden Soekarno
tidak dapat menerima tindakan yang dilakukan oleh PM Tengku Abdul Rahman karena
menganggap referendum tidak dijalankan secara semestinya. Hal itu merupakan
suatu perwujudan dari “act of bad faith” dari Tengku Abdul Rahman.
Aksi-aksi demonstrasi menentang terjadi di Jakarta yang dibalas pula dengan
aksi-aksi demontrasi besar terhadap kedutaan RI di Kuala Lumpur, sehingga pada
tanggal 17 September 1963, hubungan diplomatik Indonesia Malaysia diputuskan.
Pemerintah RI pada tanggal 21 September memutuskan pula hubungan ekonomi dengan
Malaya, Singapura, Serawak dan Sabah. Pada akhir tahun 1963 pemerintah RI
menyatakan dukungannya terhadap perjuangan rakyat Kalimantan Utara dalam
melawan Neokolonilisme Inggris (Zuhdi et.al,
2015: 97).
Demi mempertegas ketidaksenangannya terhadap pembentukan
Federasi Malaysia sebagai bentuk neokolonialisme, maka demikianlah bentuk
kekonsistenan Soekarno dalam mempertahankan idealismenya.
3. Perkembangan Politik dan Ekonomi Mulai dari Orde Baru hingga Masa Reformasi
Pembahasan selanjutnya, mengenai perkembangan politik dan
ekonomi dimulai dari era orde baru hingga reformasi. Karakter yang sebagaimana
penulis analisis dari buku teks sejarah ini, merupakan karakter-karakter yang
lahir dari kepemimpinan dari masing-masing Presiden Republik Indonesia dari
masa ke masa melalui kebijakan-kebijakannya dalam bidang politik dan ekonomi.
Penulis memandang bahwa kontributor ingin menampilkan fakta-fakta sejarah yang
disertai pula dengan kebijakan-kebijakan pemerintah saat itu sehingga peserta
didik dapat mengambil hikmah dari setiap perjalanan sejarah bangsa Indonesia di
era yang berbeda.
Tujuan perjuangan
Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan bernegara yang didasarkan atas
kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan dengan tujuan
tersebut maka ketika kondisi politik bangsa Indonesia mulai stabil untuk
melaksanakan amanat masyarakat maka pemerintah mencanangkan pembangunan
nasional yang diupayakan melalui Program Pembangunan Jangka Pendek dan
Pembangunan Jangka Panjang. Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui
pembangunan lima tahun (Pelita) yang di dalamnya memiliki misi pembangunan
dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia (Zuhdi et.al, 2015: 128).
Secara perlahan
presiden Habibie berhasil membawa perekonomian melangkah ke arah yang jauh
lebih baik dibandingkan dengan keadaan ekonomi yang sangat buruk, ketika
terjadinya pengalihan kepemimpinan nasional dari Soeharto kepada Habibie.
Pemerintahan Habibie berhasil menurunkan laju inflasi dan distribusi kebutuhan
pokok mulai kembali berjalan dengan baik. Selain itu, yang paling signifikan
adalah nilai tukar rupiah mengalami penguatan secara simultan hingga menyentuh
Rp. 6.700,-/dolar AS pada bulan Juni 1999. Padahal pada bulan yang sama tahun
sebelumnya masih sekitar Rp. 15.000,-/dollar AS. Meski saat naiknya eskalasi
politik menjelang Sidang Umum MPR rupiah sedikit melemah mencapai Rp.
8000,-/dolar AS (Zuhdi et.al, 2015:
161).
Masalah lain yang
menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid adalah upaya
untuk menyelesaikan berbagai kasus KKN yang dilakukan pada masa pemerintahan
Orde Baru. Berbagai kasus KKN tersebut kembali dibuka pada tanggal 6 Desember
1999 dan terfokus pada apa yang telah dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto
dan keluarganya. Namun dengan alasan kesehatan, proses hukum terhadap Soeharto
belum dapat dilanjutkan. Kendati proses hukum belum dapat dilanjutkan,
Kejaksaan Agung menetapkan mantan Presiden Soeharto menjadi tahanan kota dan
dilarang bepergian ke luar negeri. Pada tanggal 3 Agustus 2000 Soeharto
ditetapkan sebagai terdakwa terkait beberapa yayasan yang dipimpinnya (Zuhdi et.al, 2015: 165).
Minimnya
kontroversi selama masa pemerintahan Megawati berdampak positif pada sektor
ekonomi. Hal ini membuat pemerintahan Megawati mencatat beberapa pencapaian di
bidang ekonomi dan dianggap berhasil membangun kembali perekonomian bangsa yang
sempat terpuruk sejak beralihnya pemerintahan dari pemerintahan Orde Baru ke
pemerintahan pada era reformasi (Zuhdi et.al,
2015: 170).
Selain memfokuskan
pada manusia dan rumah tangganya, program pengentasan kemiskinan juga berupaya
untuk memperbaiki fisik lingkungan dan prasarananya seperti gedung sekolah,
fasilitas kesehatan, jalan, air bersih, dll. Program 100 hari pertama Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan prioritas pada peninjauan kembali
RAPBN 2005, menetapkan langkah penegakkan hukum, langkah awal penyelesaian
konflik di Aceh dan Papua, stimulasi ekonomi nasional dan meletakkan fondasi
yang efektif untuk pendidikan nasional (Zuhdi et.al, 2015: 177).
Berdasarkan keempat kutipan dari buku teks sejarah tersebut, kontributor
menyajikan beberapa pencapaian dari kebijakan pemerintah di eranya
masing-masing. Meskipun tidak terlalu konkrit, namun karakter yang berusaha ditampilkan
oleh kontributor pada setiap tokoh dalam hal ini para Presiden Republik
Indonesia menitikberatkan pada semangat memajukan politik maupun perekonomian
bangsa.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Buku teks adalah buku yang berisi
uraian bahan tentang mata pelajaran atau bidang studi tertentu, yang disusun
secara sistematis dan telah diseleksi berdasarkan tujuan tertentu, orientasi
pembelajaran, dan perkembangan siswa untuk diasimilasikan. Sedangkan karakter merupakan
nilai-nilai universal perilaku manusia yang meliputi seluruh aktivitas
kehidupan, baik yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia
maupun dengan lingkungan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat.
Hasil Analisis mengenai pembangunan
karakter dalam buku teks sejarah menunjukkan bahwa kontributor dalam hal ini
Zuhdi dkk memberikan sajian-sajian historiografi yang sesuai pada jenjang kelas
XII dengan pesan-pesan pembangunan karakter yang tersirat melalui narasi-narasi
yang ada pada buku teks sejarah yang ditulisnya. Namun demikian, penulis
berasumsi bahwa hal yang demikian menjadi hal yang wajar mengingat jenjang
kelas XII meliputi peserta didik yang memiliki usia matang untuk menganalisis
setiap narasi yang tersaji.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Hamid S. 2012. Pendidikan
Sejarah Indonesia. Bandung: Rizqy Press.
Hasan, Hamid S. 2012. Pendidikan Sejarah untuk
Memperkuat Pendidikan Karakter. Jurnal Paramita Vol. 22 No. 1 - Januari
2012 [ISSN: 0854-0039] Hlm. 81—95.
Heidrich, Charles W. 2006. Ancient History: Monuments
and Documents. Malden: Blackwell
Publishing.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How
Our School Can Teach Respect and Responsibility. New
York, Toronto, London, Sydney, Aucland: Bantam Books.
Majid, Abdul dan Andayani, Dian. 2011. Pendidikan
Karakter Persepektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Muslich, Masnur. 2010. Melaksanakan PTK Penelitian
Tindakan Kelas itu Mudah. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Pasal 1 (3) tentang Buku.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.`
Zuhdi, Susanto.
2015. Sejarah Indonesia untuk
SMA/MA/SMK/MAK Kelas XII. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar