eramuslim - Antrian
panjang muda-mudi pada loket-loket penjualan tiket hari pertama pemutaran film
”The Lord of the Rings” atau pada peluncuran buku ”Harry Potter” adalah
pemandangan keseharian di negeri-negeri Barat. Fenomena yang sama terjadi juga
di negeri kita, seperti yang baru-baru ini dimuat di berita photo detik.com.
Mereka yang sebagian besar adalah muda-mudi, termasuk yang ”berjilbab”, ada
dalam antrian panjang untuk membeli buku Harry Potter Jilid V yang harganya Rp.
140.000. Uang sejumlah itu bukanlah sedikit untuk masyarakat kita umumnya.
Masih ingatkah kita kisah seorang anak SD yang mencoba mengakhiri hidupnya
gara-gara malu karena tidak bisa membayar uang untuk kegiatan sekolah yang
besarnya hanya Rp. 2500.
Harry Potter ... hampir semua
remaja, bahkan dewasa, begitu mengenalnya. Bukunya laris manis bak kacang
goreng. Film-film-nya sangat ditunggu-tunggu. Asesorisnya menjadi bahan koleksi
para penggemarnya. Mereka hafal secara detil petualangan tokoh yang bernama
Harry Potter ini. Bahkan pernah dilaporkan di majalah Time, kacamata model
Harry Poter, sangat digandrungi oleh anak-anak dan remaja di Inggris, dan saya
yakin juga di negara-negara lain, termasuk negara kita. Believe it or not,
bahkan ada sebuah keluarga yang memberi nama anaknya yang baru lahir Harry
Potter .... karena begitu kagumnya terhadap tohoh yang satu ini. Sedikit,
bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada, remaja kita yang tidak kenal dengan
nama Harry Potter. Dan yang sedikit ini umumnya dikategorikan sebagai kuno,
tidak gaul, dan ketinggalan zaman.
”...saya berkewajiban menemani
dia membeli buku”,ujar seorang Profesor yang juga ketua salah satu komisi di
DPR. Meski hanya fiksi, penulis buku Harry Potter sering menyisipkan falsafah
hidup yang dapat membuat anak-anak lebih bijak, demikian alasan sang Profesor
seperti yang ditulis di detikhot.com.
Kalau alasannya untuk mencari
falsafah hidup, tidak cukupkah Islam sebagai minhaaj al-hayaah (pedoman hidup)
memberikan itu semua? Bila kemudian alasannya agar bisa menjadi manusia yang
lebih bijak dan berakhlak, lantas apa arti hadist Rasulullah SAW ”Sesungguhnya
aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang manusia”. Tidak cukupkah
itu semua, sehingga kita mesti mengambilnya dari sumber-sumber lain, yang belum
tentu sejalan dengan tuntunan Islam.
Muhammad Al-Fatih .... siapakah
dia? Jika pertanyaan ini diajukan ke 1000 remaja muslim, mungkin hanya 1
diantaranya yang tahu jawabannya. Dialah pemuda muslim yang dalam usia 23 tahun
berhasil memimpin penaklukan konstantinopel (sekarang bernama Istambul), yang
merupakan pusat peradaban barat di abad pertengahan [1]. Sang pemuda ini
berhasil mengambil alih konstantinopel dari tangan kerajaan Bizantium yang
merupakan kelanjutan dari Roman Empire dan telah menguasai Konstantinopel lebih
dari 10 abad [2].
Remaja Muslim sekarang lebih
kenal dengan tokoh Harry Potter, ketimbang tokoh Muhammad Al-Fatih.
Mahasiswa-mahasiswa muslim di negeri ini lebih mengenal dan mengagumi sosok Einstein,
Louis Pasteur dan Aristoteles ketimbang sosok Khwarizmi si-penemu sistem
aljabar dalam dunia matematika [2,3], Ibn Sina (Avicenna) yang telah menulis
buku ”The Canon” yang telah menjadi buku rujukan utama di dunia kedokteran
Eropa selama lebih dari 5 abad dan Ibu Rushd (Averroes) yang fikiran-fikirannya
telah mempengaruhi filsuf-filsuf terkenal Eropa seperti Roger Bacon [2],
padahal ilmuawan-ilmuawan muslim ini sangat dikenal di dunia barat.
Begitulah nasib muslim di negeri
ini yang terkadang lebih ’kebarat-baratan’ daripada orang-orang barat sendiri.
Lihatlah buku-buku yang terpajang di rak dinding ruang tamu kita, berapa banyak
dari buku-buku tersebut yang merupakan kitab tafsir, fiqh sunah dan buku-buku
kisah para sahabat, lalu bandingkan dengan koleksi buku-buku semacam Harry
Potter ... Bila tangan kita dengan mudahnya meraih lembaran-lembaran 50 atau
100 ribuan di dompet untuk membeli buku semacam Harry Potter, buku-buku
komputer terbaru, buku-buku manajemen dan psikologi modern, sementara hanya
lembaran uang ribuan atau bahkan koin recehan yang keluar dari saku kita guna
membeli buku-buku Islam, menyumbang kegiatan keislaman, dan mengisi kotak amal
di masjid-masjid. Waktu yang kita gunakan untuk kegiatan-kegiatan keislaman pun
biasanya waktu-waktu sisa, saat kita sudah letih dan tak mampu lagi berfikir
jernih. Terlalu naif rasanya bila kemudian kita masih bertanya mengapa umat
(Islam) ini menjadi umat yang terbelakang, umat sisa, umat yang menjadi
bulan-bulanan umat-umat yang lain.
[1] As-Sunnah sebagai Sumber
Iptek dan Peradaban, Dr. YusufAl-Qardhawy.
[2] Almanac of World History, published by National Geographic.
[3] Time Magazine, 24 Desember 2001.
[2] Almanac of World History, published by National Geographic.
[3] Time Magazine, 24 Desember 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar